Jumat, Juli 01, 2011

Budaya Massa dan Budaya Pop

Budaya massa sering diperbandingkan dengan budaya tinggi ( high culture ) yang berciri pada produk yang memiliki dua ciri khas. Pertama, diciptakan dan berada di bawah pengawasan elit budaya yang berperan sesuai tradisi estetis, sastra dan ilmu pengetahuan. Kedua standar yang ketat, yang tidak bergantung kepada konsumen produk mereka dan dilaksanakan secara sistematis. Sedangkan budaya massa mengacu kepada pengertian produk budaya yang dicitakan semata-mata untuk pasar. Ciri-ciri lain yang tidak tersurat dalam definisi tersebut adalah standarisasi produk dan perilaku massa dalam penggunaan produk tersebut (Mc.Quail, 1998 : 38 ). Dengan kata lain dalam budaya massa, orientasi produk adalah trend atau mode yang sedang diminati pasar.

Bahkan dalam bukunya yang paling berpengaruh One – Dimensional Man, Marcuse berkeyakinan bahwa dengan adanya kebudayaan massa, aspek progresif dari seni klasik telah dihapus hanya sekedar menjadi industri. Seni hanya menjadi nilai operasional dan keinginanya akan kebahagiaan diganti dengan kebutuhan yang salah atau palsu (false need) dalam masyarakat konsumtif ini. Itulah sebabnya Marcuse, sebagaimana halnya pemikir mahzab Frankfurt (Frankfurt School) lainya seperti Theodore Adorno memandang rendah kebudayaan populer (popular culture) karena sifatnya yang konservatif dan afirmatif. Kebudayaan populer, menurutnya selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam masyarakat kapitalis ini (Marwoto, 2001:37).

Menurut Adorno (dalam Storey [ed], 1994:202), karakteristik fundamental dari budaya populer, khususnya musik populer, termasuk di dalamnya musik rock adalah standarisasi (standarization). Karakteriktik yang membedakannya dengan bentuk high culture yang dianggap adiluhung.

Kritik terhadap pemikiran para pemikir Mahzab Frankfurt kemudian banyak berasal dari Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Birmingham School yang. Para pemikir dari Mazhab Birmingham menyoroti kegagalan analisa para pemikir Mazhab Frankfurt dalam menganalisis kebudayaan, termasuk media culture dan seni yang dikandungnya. Kegagalan mahzab Frankfurt adalah disebabkan karena mereka melihat segala fenomena dari konteks kapitalisme

Mahmed Pujangga

Mata Pena Nalar selalu berkisah tentang kita, kehidupan kita, dan hanya kita...