Kamis, Oktober 07, 2010

Eksistensi Waria di Makassar

BAB I
PENDAHULUAN

“mau’ni woroane mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunrai na woroane sipa’na, woroane-mui...”. (Meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan, yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki). (Sebuah ungkapan bugis).

A. Latar Belakang

Sepanjang sejarah berbagai masyarakat di Kepulauan Nusantara, konstruksi sosial gender senantiasa beraneka ragam, tidak melulu lelaki dan perempuan saja. Individu yang terlahir sebagai lelaki biologis tidak semuanya tunduk pada konstruksi gender lelaki secara sosial-budaya. Mereka memilih atau mengkonstruksi sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan masyarakat pun dengan berbagai derajat penerimaan mengenali mereka sebagai banci (Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe-kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa) dan istilah-istilah lainnya yang belum semuanya dikenali bahkan oleh para peneliti gender dan seksualitas pun, namun memang ada dan dikenali oleh masyarakat setempat. Belum lagi adanya orang-orang yang interseks, yang dalam derajat tertentu memiliki (sebagian) ciri-ciri kelamin biologis lelaki dan/atau perempuan dalam berbagai kombinasi, yang acapkali disebut juga dengan istilah-istilah tadi (Oetomo, 2006:2).

Seperti halnya di dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan (secara umum) dan Makassar (secara khusus), ada orang-orang yang berkonstruksi gender yang tidak sesuai dengan kerangka hegemonik yang ditentukan oleh negara, agama, budaya, bahkan juga ilmu pengetahuan, yang hanya mengakui dua gender, yakni laki-laki dan perempuan. Konstruksi gender yang lain tersebut dapat kita kenali sebagai tomboy dan waria misalnya. Belum lagi identitas seksual lain yang tidak sempat kita kenali dan pada kenyataannya mereka ada serta berusaha bertahan hingga sampai sekarang ini.
Pendek kata, dapatlah dikatakan bahwa konstruksi gender dan seksualitas di masyarakat-masyarakat Nusantara maupun masyarakat Indonesia masakini adalah teramat kompleks dan beraneka ragam. Kaum ilmuwan, aktivis sosial, maupun anggota masyarakat sendiri, seringkali masih tidak tahu atau sengaja membisukan (karena berbagai alasan: moralitas, rasa risih, kemalasan berpikir) kenyataan yang rumit dan asyik ini (Oetomo, 2006:4-5). Mereka yang berpretensi menekuni bidang kajian gender pun cenderung hanya mewacanakan isyu-isyu perempuan dengan hampir secara kategoris melupakan kaum-kaum lain seperti waria dan gay misalnya, sehingga pada akhirnya kajian gender di Indonesia menurut penulis hanyalah merupakan istilah lain untuk merujuk pada “kajian wanita” saja. Padahal kita tahu kajian gender tidak demikian dan teramat sangat luas cakupannya.

Salah satu gender yang cenderung diabaikan dalam masyarakat kita adalah kaum waria. Keberadaan mereka di tengah masyarakat kita kini bukan merupakan hal yang asing lagi. Meski tidak termasuk ke dalam salah satu identitas gender normatif, yakni laki-laki dan perempuan, namun dapat dikatakan bahwa hampir setiap orang pasti mengenal waria. Walaupun dalam pengertian yang sederhana, waria diketahui sebagai individu yang memiliki jenis kelamin laki-laki tetapi berdandan dan berperilaku seperti layaknya seorang perempuan (Atmojo, 1987:2-4). Lebih lanjut Atmojo berpandangan bahwa kehadiran waria sebagai bagian dari kehidupan sosial kita rasanya tak mungkin dapat untuk dihindari. Meskipun demikian, kebanyakan dari anggota masyarakat belum mengetahui secara pasti apa itu waria. Kebanyakan dari kita hanya mengetahui dengan sedikit sekali tentang waria lalu secara sepihak berpandangan bahwa menjadi waria adalah perilaku yang menyimpang dan menyalahi kodrat serta melanggar norma-norma agama.

Berperilaku menjadi waria selalu memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah, yakni dianggap sebagai lelucon sosial bahkan berbuah penolakan sosial oleh sebagian besar masyarakat. Yang lebih disayangkan lagi, beban paling berat di dalam diri seorang waria adalah beban psikologis yaitu perjuangan mereka menghadapi gejolak kewariaannya terhadap kenyataan di lingkungan keluarganya. Perlakuan keras dan kejam oleh keluarga karena malu mempunyai anak seorang waria kerapkali mereka hadapi. Meskipun tidak semua waria mengalami hal seperti itu, tetapi kebanyakan keluarga tidak mau memahami keadaan mereka sebagai waria (Oetomo, 2003:290).

Belum lagi pada kenyataan yang ada bahwa kebanyakan dari anggota masyarakat mengasosiasikan waria dengan pelacuran. Dan seperti yang kita ketahui bahwa dunia pelacuran dianggap sebagai sesuatu yang hina dan menjijikkan. Akhirnya, citra dunia pelacuran kaum waria kemudian membuahkan pemikiran negatif pada masyarakat, yang selanjutnya berujung pada diskonfirmitas akan keberadaannya dalam beberapa faktor terutama penyempitan kesempatan kerja waria pada sektor formal (http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg14167.html).

Penelitian-penelitian tentang waria sebelum ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh para peneliti dari berbagai kalangan. Pendekatan yang dilakukan juga beragam dan tidak sepenuhnya sama. Akan tetapi, penulis berasumsi bahwa penelitian yang ada belum cukup untuk memahami waria secara utuh terlebih perihal pengetahuan mereka berkenaan dengan eksistensinya. Penelitian tersebut ada yang dilakukan atas dasar kepentingan jurnalis, sehingga penelitiannya dapat di katakan sebagai laporan jurnalistik meskipun akhirnya di terbitkan dalam bentuk buku yang berjudul “Kami Bukan Lelaki” oleh Atmojo (Atmojo, 1987). Atmojo menemukan satu fenomena sosial bahwa kehidupan waria amatlah beragam pada kenyataannya. Selain mereka bekerja sebagai pelacur, banyak diantara mereka juga bekerja di berbagai pekerjaan, seperti salon kecantikan, pedagang, pembantu rumah tangga dan sebagainya. Akan tetapi, sangat sedikit diantara mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang umumnya dikerjakan oleh laki-laki.

Menurut hemat penulis, penelitian tersebut sebenarnya memang sedikit banyak telah mengeksplorasi kehidupan waria dari berbagai sisi. Namun penelitian tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan metodologi kualitatif. Peneliti lebih banyak menggunakan kuesioner dan dengan teknik wawancara terbatas (karena peneliti adalah wartawan), sehingga data yang disajikan menempatkan hasil penelitian tersebut hanya sebagai pengantar untuk memahami kehidupan waria jika ada peneliti lain yang tertarik untuk mengkaji kehidupan waria. Hal ini dikarenakan data yang didapatkan hanya bersifat permukaannya saja.

Studi waria yang dipandang sebagai individu patologis secara sosial pernah dikaji oleh Soedjono. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa penyimpangan seksual yang ada dalam diri seorang waria ternyata telah melahirkan satu bentuk penyimpangan sosial, seperti pelacuran, seks bebas dan perkosaan, meskipun hukum menyadari bahwa perbuatan itu diluar keinginan pelaku dan merupakan penyakit (Soedjono, 1982:147). Sedangkan penelitian lain, yakni dari kalangan akademisi (ilmu sosial) seperti halnya Koeswinarno, Soedijati dan Muthi’ah lebih banyak hanya mengeksplorasi latar belakang seseorang menjadi waria (Lihat Muthi’ah:123-128, 145-150, 163-169, 183-187) serta bagaimana tekanan dan hambatan sosial ketika seseorang hidup sebagai waria (Lihat Koeswinarno, 2004 : 149-152 dan Soedijati, 68-77 ). Eksplorasi lebih lanjut juga lebih banyak difokuskan mengenai kehidupan waria di “jalan” serta menyangkut ekspektasi masa depan waria dalam hidup bermasyarakat. Meskipun begitu, beberapa uraian sedikit banyak menunjukkan secara tersirat poin tentang bagaimana waria berusaha mempertahankan eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat melalui kemampuan yang mereka miliki. Akan tetapi, poin tersebut tidak menjadi fokus utama dari berbagai penelitian yang telah ada.

Akhirnya penulis berpandangan bahwa penelitian tersebut dirasakan belum mampu meng-cover beberapa pertanyaan yang kemudian penulis merasa sangat penting untuk dijawab. Pertanyaan tersebut menyangkut bagaimana pengetahuan-pengetahuan dan strategi waria berkenaan dengan penerimaan masyarakat pada ruang-ruang sosial, dan hal ini menyangkut eksistensi waria. Pertanyaan ini muncul karena adanya fakta bahwa sampai saat ini meskipun waria dianggap sebagai kelompok yang diabaikan dalam masyarakat bahkan cenderung ditolak dengan dasar dalil agama, namun mereka mampu bertahan hingga sampai sekarang dan penulis yakin mereka akan terus bertambah selama belum ditemukan cara (kalaupun ada) yang tepat untuk mencegahnya.

Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat dan mengkaji secara mendalam fenomena waria khususnya kaum waria yang berada di Makassar dengan menitikberatkan pada pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh dan strategi yang dipolakan oleh waria dalam menghadapi hambatan sosialnya serta bagaimana mereka mampu mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat. Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan tentang apa yang dirasa belum cukup dari berbagai penelitian yang telah ada sebelumnya.

Akhirnya, dari uraian dan ilustrasi di atas, maka penulis memberi judul penelitian dalam rangka penulisan skripsi, yakni “Strategi Kaum Waria Mempertahankan Eksistensinya di Makassar, Sulawesi Selatan”.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Ruslam. 2005. Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif. Universitas Negeri Malang. Malang.

Atmojo, Kemala. 1987. Kami Bukan Lelaki. Cetakan Kedua. PT. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta Utara.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Boelsstorff, Tom. 2005. The Gay Archipelago. Seksualitas dan bangsa di Indonesia. Q-munity. Jakarta.

Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Gaung Persada Press. Jakarta.

Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Cetakan Kedua. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Kaplan, David & Robert Manners. 2002. Teori Budaya. Cetakan Ketiga. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Koeswinarno. 2005. Hidup Sebagai Waria. Kanisius. Yogyakarta.

Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial I. Penerbit Rajawali Pers. Jakarta.

Kompas. Com. 10 Mei 2007. Kaum Waria Tuntut Pekerjaan di Sektor Formal. Di akses pada tanggal 8 April 2010

Maleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rusda Karya.

Muthi’ah, Dewi. 2007. KONSEP DIRI DAN LATAR BELAKANG KEHIDUPAN WARIA (Studi Kasus terhadap Waria di Kota Semarang). Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Nadia, Z. 2005. Waria Laknat atau Kodrat. Galang Press. Yogyakarta.


Narwoko, J. Dwi & Bagong Suyanto.2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Prenada Media Group. Jakarta.

Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara Pada Yang Bisu. Cetakan Kedua. Pusaka Marwa Yogyakarta. Yogyakarta.

. 2006. Memperjuangkan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Identitas Gender Dan Seksualitas Di Indonesia. Disajikan sebagai naskah presentasi pada Semiloka Hak atas Kebebasan Pribadi bagi Kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Interseksual, Transgender dan Transeksual. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kuta, 15–16 Agustus 2006.

Rowe, Emily. 2007. Sekapur Sirih. Dalam Waria: Kami Memang Ada. PKBI DIY. Yogyakarta.

Sara, Yuni. 2007. Sudah Adakah Kesetaraan di Kelompok Waria?. Dalam Waria: Kami Memang Ada. PKBI DIY. Yogyakarta.

Soedijati, Elisabeth Koes. 1995. SOLIDARITAS DAN MASALAH SOSIAL KELOMPOK WARIA (tinjauan tentang sosiologis dunia sosial kaum waria di Kotamadya Bandung). Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada masyarakat STIE. Bandung.

Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mahmed Pujangga

Mata Pena Nalar selalu berkisah tentang kita, kehidupan kita, dan hanya kita...