Kamis, Oktober 13, 2011

Gambaran Umum Waria di Kota Makassar

Munculnya kaum waria di Indonesia menimbulkan penolakan tersendiri dari masyarakat. Lingkungan dari peran gender terbentuk oleh kenyataan bahwa di Indonesia pada masa sekarang laki-laki dan perempuan cenderung dipisahkan secara kuat, meskipun kenyataannya secara historis banyak kebudayaan dari kepulauan ini telah mengecilkan perbedaan gender dan memahami bahwa laki-laki dan perempuan sebagai pelengkap satu sama lain daripada mempertentangkannya (Errington dan Hoskin dalam Boellstorff, 2003). Saat masyarakat kita hanya mengakui bipolaritas kelamin, munculnya kelamin ketiga merupakan suatu kesan tersendiri yang seakan mendobrak struktur semestinya.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 1 November 1997 menegaskan bahwa waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri. Oleh karena itu, segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula (www.lin.go.id). Melalui dalil fatwa inilah menjadi salah satu alasan mengapa kemudian keberadaan waria senantiasa dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kaidah normatifitas agama dan masyarakat.

Berangkat dari pedoman dasar dalam tataran kehidupan manusia secara umum di atas, struktur yang berlaku di masyarakat pun secara langsung menolak keberadaan waria secara eksistensial. Waria tidak diperlakukan secara setara dan saat waria berusaha untuk menjadi diri sendiri, waria malah dibuang, diasingkan, dipersalahkan, bahkan ditabukan karena “ketidakbiasaan” yang terdapat dalam diri mereka. Padahal, keberadaan waria bukan merupakan sesuatu yang ahistori. Keberadaannya selama ini telah menjadi rangkaian cerita yang historis yakni melalui proses perjalanan sejarah yang sangat panjang baik dalam kebudayaan dunia, kebudayaan Nusantara, maupun kebudayaan lokal Sulawesi Selatan.

Realitas tersebut merupakan sebuah masalah serius yang dirasakan dan harus dihadapi sepenuhnya oleh kaum waria. Di satu sisi, waria mempunyai harapan yang besar untuk diakui oleh masyarakat apa adanya, sebagai golongan minoritas yang berasal dari gender ketiga (alternatif). Tetapi di sisi lain, waria terbentur oleh kenyataan bahwa konstruksi gender yang membentuk pola bipolar telah mendeterminasi struktur, nilai, norma, serta indikator moralitas dalam masyarakat yang cenderung menolak keberadaan kaum waria Oleh karena itu, harapan besarnya adalah kaum waria ingin memperoleh hak-hak yang sama seperti yang dimiliki oleh dua gender lainnya (laki-laki dan perempuan) tanpa harus menanggalkan identitasnya sebagai waria.

A. Waria di kota Makassar
Dahulu, waria di kota Makassar identik dengan lapangan Karebosi. Hal ini karena kita dapat dengan mudah menemukan waria ketika melintasi jalan sekitaran lapangan Karebosi, yakni jalan Kartini dan Jendral Sudirman, maupun persimpangan jalan Ribura’ne. Mereka biasanya menjajakan diri di pinggir-pinggir jalan tersebut dan kemudian melakukan transaksi seksual dengan tamu/pelanggan di area sekitar lapangan karebosi. Namun saat ini, waria di kota Makassar tidak lagi berpusat pada tempat tersebut. waria kemudian memperlebar “daerah kerja” sampai ke daerah-daerah yang dahulunya tidak terjamah oleh waria. Sebut saja daerah sekitar Taman Makam Pahlawan, Samping Rumah Sakit Pelamonia, Jalan Maccini, hingga ke sudut-sudt kota yang penulis anggap sangat “rawan ciduk” bagi waria-PSK, misalnya saja di pinggir-pinggir jalan A.P. Pettarani.

Waria di kota Makassar merupakan kelompok sosial yang cenderung termarginalkan. Selain jumlah mereka yang lebih sedikit dari gender lain (laki-laki dan perempuan), yakni 20.960 dan 35.300 pada tahun 2006 di Indonesia dan sekitar kurang lebih 3.000 orang pada tahun 2009 di Makassar, juga karena dalam kaidah heteronormatifitas, keberadaan mereka tidak diterima. Kondisi ini menyebabkan dunia mereka menjadi sangat ekslusif. Mereka bergaul dan berkawan hanya dengan teman-teman senasib, meskipun ada juga yang dapat berbaur dengan anggota masyarakat tanpa kendala berarti.

Waria di kota makassar umumnya tinggal secara berkelompok. Mereka menyewa rumah kontrakan secara kolektif, sehingga dapat ditemukan bahwa sebagian besar waria di kota makassar tinggal serumah dengan waria-waria lain atau tinggal berdampingan dengan waria lain. Terkadang di temukan ada rumah yang secara fungsional juga dioperasikan sebagai salon atau tempat kerja waria. Ini membuat pola pergaulan dan jarak interaksi sosial waria menjadi lebih terbatas, yakni hanya daerah “itu-itu saja”.

Tingkat pendidikan waria juga rata-rata relatif rendah. Ini berimplikasi pada akses pekerjaan yang mereka bisa dapatkan terbatas pada hal-hal tertetu saja, itupun sesuai dengan ketrampilan dan keahlian yang mereka miliki. Pekerjaan yang dominan waria lakukan adalah penata rias di salon, sehingga dapat kita temukan sebagian besar salon-salon yang ada di Makassar, penata riasnya adalah seorang waria. Selain itu, waria yang tidak memiliki keahlian merias atau sedang mengalami “masa libido memuncak”, kecenderungannya mengambil jalan pintas dengan menjadi pelacur. Selain mendatangkan penghasilan yang lumayan, pekerjaan ini dinilai praktis dan mudah. Hanya dengan bergaya “cantik” mereka sudah bisa bekerja.

Sebagian besar waria di kota Makassar beragama Islam dan ketika beribadah shalat kembali kepada fitrah kelaki-lakiannya, yakni memakai kopiah dan (terkadang) sarung. Agama Nasrani juga menjadi agama yang di anut oleh beberapa waria sejak kecil sampai sekarang. Tidak ditemukan ada agama lain selain dua agama tersebut yang dianut oleh waria di kota Makassar.

Informan waria yang peneliti wawancarai berjumlah 22 orang. Usia informan berkisar antara 20-50 tahun. Usia informan waria yang berumur 20-30 tahun berjumlah 10 orang, waria yang berumur diantara 31-40 tahun berjumlah 5 orang, sedangkan waria yang berumur sekitaran 41-50 tahun hanya ada 1 (satu) orang saja. Sejumlah besar waria tersebut tergabung ke dalam beberapa lembaga dan organisasi yang menjadi medium perjuangan eksistensi mereka di tengah masyarakat.

B. Organisasi waria
Tingkat mobilitas waria sangat tinggi. Mereka dapat saja berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain untuk urusan tertentu dalam waktu yang tidak terduga karena alasan ketidaknyamanan atau pekerjaan yang mereka dapatkan ditempat lain. Sehingga, sangat sulit mengetahui jumlah keseluruhan kaum waria yang ada di Makassar. Namun diperkirakan jumlah waria yang ada di Makassar pada saat ini sekitar kurang lebih 3.000 orang pada tahun 2009 ketika dilakukan pendataan oleh Dinas Sosial (KPA) Pemerintah kota Makassar (www.tribuntimur.com).

Kaum waria membentuk organisasi selain sebagai wadah pemersatu dan perekat solidaritas, juga terutama sebagai ruang dimana mereka dapat mengekspresikan hobi, kesenangan maupun kebutuhan hidup mereka. Selain itu, organisasi yang mereka bentuk dapat dijadikan sebagai wadah perjuangan persamaan hak asasi manusia dan pengakuan terhadap identitas gender khusus kaum waria sebagai strategi dalam memperjuangkan eksistensi kaum waria.

Di Kota Makassar ditemukan setidaknya ada tiga organisasi sosial yang menaungi kelompok waria serta diidentifikasi cukup eksis bertahan di kota Makassar. Organisasi tersebut antara lain adalah: Kerukunan Waria Kota Makassar (KWKM), Komunitas SEHATI Makassar, Yayasan Gaya Celebes (YGC). Ketiga organisasi sosial tersebut memiliki peranan yang berbeda-beda dalam perjuangan eksistensi kaum waria.

a. Kerukunan Waria Kota Makassar (KWKM)
Sebagai organisasi waria yang cukup lama, adalah Kerukunan Waria Kota Makassar (KWKM) yang berdiri dan bertujuan sebagai wadah pemberdayaan bagi kaum waria serta melakukan pembinaan potensi-potensi waria, terutama dalam hal keterampilan dan peningkatan sumberdaya manusia kaum waria sehingga mereka dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan dimasyarakat, khususnya di kota Makassar. Peran-peran itu dapat terlihat dengan kehadiran kaum waria yang sudah mampu mendirikan dan menciptakan lapangan kerja sendiri. Ketua KWKM akrab disapa Mami Ria (45 tahun).

Selain itu, mereka juga melakukan kerjasama yang intensif dengan institusi pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Sosial dalam melakukan aktifitas-aktifitas pemberdayaan yang bertujuan positif. Beberapa kegiatan yang misalnya mereka lakukan secara rutin adalah: pekan olah raga dan seni (porseni) waria, kontes ratu waria, bakti sosial dan beberapa aktifitas lainnya yang menunjang terciptanya pemberdayaan masyarakat yang lebih baik.

Organisasi ini mampu memberi manfaat yang besar bagi anggota KWKM. Hal ini dapat dilihat antara lain adanya rasa saling memiliki dan tanggung jawab sosial oleh kaum waria. Selain itu, kaum waria juga mampu membuka mata perihal kehidupannya sebagai waria sehingga mereka merasa perlu untuk memiliki keterampilan tertentu agar dapat bekerja dan menghidupi dirinya pada jalan yang legal. Manfaat lain yang juga turut dirasakan adalah beberapa anggota KWKM ada yang sering diundang untuk menghadiri sebuah acara tertentu dari banyak pihak, sehingga mereka merasa diterima oleh kalangan tersebut sekalipun hanya sebatas sebagai hiburan semata.

b. Komunitas SEHATI Makassar
Komunitas SEHATI Makassar yang bertujuan sebagai wadah sosialisasi dan advokasi Hak Asasi Manusia (HAM) kepada waria kota Makassar. Mereka bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) yang memusatkan perhatian pada isu-isu seputar gender, keberagaman dan persamaan Hak Asasi Manusia. Organisasi yang secara intens bekerjasama dengan SEHATI antara lain adalah Komisi Perempuan Indonesia (KPI), Komunitas Perempuan Serumpun (KIPAS), beberapa Lembaga bantuan Hukum yang ada di Makassar, Q-munity yang merupakan komunitas film-film berbau isu gender alternatif, dan beberapa organisasi lainnya yang kemudian diharapkan mampu membantu para waria untuk mendapatkan pengetahuan tentang hak-hak asasi manusia, bantuan hukum ketika waria berhadapan dengan permasalahan hukum, serta ketika waria kesulitan untuk melakukan proses advokasi hukum.

Dalam aktifitasnya, organisasi ini secara intens melakukan program-program sosialisasi menyoal permasalahan HAM dan persoalan-persoalan hukum yang menyangkut keberagaman. Kegiatan yang mereka lakukan antara lain adalah: workshop HAM, pemutaran film (“Q” film festival), diskusi publik, serta pengadvokasian waria-waria Makassar yang terkena masalah hukum. Mereka juga seringkali terlibat dalam aksi-aksi sosial terutama dalam memperingati hari-hari besar kelompok minoritas. Seperti pada tanggal 1 Desember yang merupakan hari AIDS sedunia, 17 yang merupakan IDAHO (International Day Against Homophobia), serta hari-hari penting lainnya. Ada kalanya mereka juga diundang untuk menghadiri seminar atau workshop yang di adakan di ibukota menyoal tema-tema tentang HAM dan keberagaman.

c. Yayasan Gaya Celebes (YGC)
Yayasan Gaya Celebes (YGN) pada mulanya merupakan kelompok kerja dari anak-anak muda yang peduli terhadap Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS. Organisasi ini didirikan pada tahun 1993 oleh segelintir anak muda yang melihat bahwa banyak teman-teman mereka memiliki perilaku berisiko tinggi untuk tertular penyakit ini. Dari sekedar kelompok kerja, kemudian mereka mengembangkan diri dan secara bertahap diresmikan sebagai suatu Yayasan yang mempermudah ruang gerak mereka dalam memberikan penyuluhan kepada teman-teman mereka.

Saat ini, Yayasan Gaya Celebes (YGC) seringkali bekerjasama dengan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Sulawesi Selatan dalam program-program sosialisasi HIV-AIDS. Kegiatan utama dari Yayasan Gaya Celebes adalah memberikan informasi tentang PMS dan HIV/AIDS kepada kelompok sasaran mereka yaitu kelompok gay (homoseksual)/ biseksual dan kelompok waria. Dua kelompok yang sering dianggap melakukan perilaku beresiko tinggi sehingga menempatkan mereka pada posisi mudah tertular PMS and HIV. Program pemberian informasi ini dilakukan secara langsung di lapangan (Program Outreach). Selain dari Program Outreach tadi, Yayasan Gaya Celebes juga memberikan informasi tentang PMS dan HIV kepada masyarakat umum melalui media massa, pelatihan, hotline, dan surat-menyurat. Selain itu juga, Yayasan Gaya Celebes menerbitkan suatu buletin yang di khususnya ditujukan kepada kelompok sasaran mereka.

Adapun kegiatan-kegiatan lain YGN yang juga menjadi rutinitas organisasi ini adalah antara lain: kontes waria cantik sebagai rangkaian penyuluhan HIV-AIDS dan Narkoba, serta Workshop maupun seminar masalah HIV-AIDS dan narkoba.

Sebagai sebuah organisasi sosial, keberadaan YGC di Makassar memiliki peran besar dalam membantu pemerintah memerangi bahaya AIDS dan narkoba yang merupakan momok menakutkan oleh masyarakat selama ini. Dengan begitu, alasan didirikannya Yayasan Gaya Celebes sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan dan berupaya untuk meredam penyebaran HIV/AIDS di Makassar dapat dikatakan cukup berhasil. Perubahan perilaku dikalangan waria (yang akhirnya membuat tingkat penderita HIV/AIDS berkurang) semenjak penggalakan sosialisasi bahaya dan pencegahan HIV/AIDS dan narkoba yang dilakukan oleh YGC seharusnya membuka mata bagi masyarakat, bahwa kaum waria adalah bagian dari masyarakat itu sendiri yang banyak memberi kontribusi terhadap kehidupan bermasyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mahmed Pujangga

Mata Pena Nalar selalu berkisah tentang kita, kehidupan kita, dan hanya kita...