Kamis, September 17, 2009

Jika antropologi menjadi terlalu puitis

(dari diskusi Balai Sastra Kecapi, November 2008)

Membaca beberapa puisi Afrizal Malna yang ada di tangan saya, segeralah saya teringat akan pengalaman-pengalaman mendengarkan kisah-kisah, atau membaca transkripsi tentang tuturan “primitif” yang ajaib, aneh tapi memukau. Ketegangan begitu ditampilkan dengan loncatan posisi subjek yang tidak biasa. Misalnya dengan membaca 50 Tahun Usia Kuping, subjek dapat berganti-ganti, mulai dari seorang yang melihat kuping di tembok, kuping yang melihat tembok, sampai tembok yang kemudian menyampaikan pesan tentang kuping yang ada dalam dirinya. Afrizal adalah penyair dan saya mewakili banyak orang-orang yang tidak punya kemampuan membangun sebuah syair yang baik. Dalam beberpa kesempatan penelitian di Kalimantan Barat, di suku terpencil dekat perbatasan Sarawak Indonesia, justru saya banyak menemukan penyair-penyair yang bisa bernarasi banyak dengan bahasa indah tentang cerita-cerita hantu, petara-petara, atau pahlawan-pahlawan mereka. Agak mustahil bagi saya untuk bisa memahami konsep ruang dan waktu dalam narasi-narasi mereka. Tidak ada patokan kalender Masehi, tidak ada lokasi-lokasi yang benar-benar ada dalam peta. Saya cenderung menyepelekan mereka dan ingin menulis yang lebih penting.
Sementara ah! Afrizal. Dia begitu langsung terjun bebas dan malahan mendahului apa yang ingin ditulis oleh antropolog dalam mimpi-mimpinya. Di halaman 97, saya membaca:

“pagi-pagi sekali ribuan bangkai hutan diseret di atas sungai mahakam. Kau setubuhi juga anak-anak gadis kami dengan penismu yang terbuat dari gergaji. Kau curi hati anak-anak muda kami dengan perahu bermotor. Lalu bayangan hujan jatuh di sungai seperti mahkota. Dan sejak itu ibuku tak pernah menari lagi”

Antropolog justru mungkin menulis berapa ton kayu yang hilang, bagaimana teknologi chainsaw membuat prinsip subsistensi menjadi asing, bagimana local knowledge selalu berubah mengikuti zaman dan bagaimana dunia mikro sedang tergilas oleh pembangunan. Ah betapa dinginnya kami mendekati dan merasakan sebuah pengalaman lapangan. Pastinya bukan kami terlalu serius. Tapi ada sebab lain.

Dilihat dari sisi epestemologis atau bagaimana konstruksi keilmiahan dirajut, posisi seorang antropolog sebagai “Diriku” atau Self, terpaut oleh sebuah jarak dengan realitas sosial yang sedang ditelitinya yaitu “diri mereka” (sebagai the other). Pada permulaan abad, ilmu pengetahuan ilmiah-lah yang dapat menjadi jembatan yang memposisikan hubungan antara sang antropolog dan sang objeknya (istilah halusnya “subyek antropologis”-nya). Maka dari itu tradisi pengumpulan data berkembang dari catatan harian personal para musafir, sketsa-sketsa kasar, dokumen-dokumen misionaris menuju sebuah kegiatan sistematik berupa pengumpulan data turun lapangan dengan kewajiban membuat etnografi yang sistematik. Dalam iklim positivis yang subur ini lahirlah antropologi sebagai ilmu yang mapan dengan tradisi kuat dan percaya diri melaksanakan tugas menjawab sebuah pertanyaan tua: mengapa manusia melakukan tindakan aneh-aneh dan mengulanginya terus-menerus-sebagai praktek sosial, kebiasaan dan ritual-sementara ada manusia lain yang tidak melakukannya, atau bahkan mengutuk tindakan-tindakan ritual yang sangat normal bagi orang lain. Menyingkat riwayat antropologi, ilmu ini selalu ingin menerjemahkan “budaya primitif” yang sangat aneh menjadi sesuatu yang dimengerti oleh publik antropologis. Penerjemahan berarti juga melakukan pengalihan-pengalihan kode budaya yang asing, menakutkan, acak-acakan, eksotik menjadi tampil siap saji dalam bentuk buku yang enak dibaca. Barulah primitif kemudian dimengerti dalam terminologi “struktur sosial”, “simbol”, “kekerabatan”, “kosmologi” dalam buku etnografi. Suatu penerjemahan “pikiran orang primitif” adalah dengan cara membuatnya menjadi familiar bagi pembaca yang non-primitif.

Semenjak Franz Boas menjadi terkenal dengan buku Primitive Minds tahun 1930-an usaha penerjemahan alam berpikir primitif yang “distortif, sirkular, non-linear, tak-sistematik”, terus terjadi hingga kini. Namun pada masa itu, terjadilah suatu dobrakan penting dalam antropologi. Hanya dengan metode komparatif yang terbataslah, suatu budaya dapat dimengerti. Artinya, antropolog harus membanding-bandingkan apa yang hanya dapat dibandingkan. Carilah traits, atau unsur budaya secara terbatas dan lakukanlah komparasi. Pertahankanlah cara pandang relativisme-artinya budaya kita tidak lebih baik dari budaya lain. Namun sejauh mana antropolog bisa menjalin pemahaman? Di lapangan, kita antropolog bertemu dengan orang-orang tua yang pintar berkata-kata tentang silsilah dan asal-usul, tentang kejadian-kejadian lama, tentang identitas kelompok sendiri yang disimpan dalam barisan syair hafalan yang puitik, penuh sampiran, tidak ada keterangan waktu yang jelas, meloncat-loncat dan penuh metafora dalam menceritakan migrasi dan silsilah. Kemudian kita susah payah mencocokannya dengan kalender, dengan peta sungai, dengan peta administratif, bahkan dengan bantuan satelit melalui GPS. Tapi sudahkah kita memahami pikiran-pikiran mereka? Budaya mereka? Atau merasakan keperihan mereka?

Geertz setelah puluhan tahun menjadi Indonesianis dengan proyek Modjokuto dan Balinya mengatakan bahwa memang benar bahwa antropolog menjelaskan kebudayaan. Namun, kebudayaan dimengerti secara salah-kaprah semenjak Boas dan murid-muridnya mempopulerkan konsep relativisme budaya sebagai suatu virus dalam antropologi (Geertz 2000:44). Relativisme budaya atau “pengukuran” yang dibangun berdasarkan kebudayaan tertentu dianggap sebagai suatu ‘rasialisme terbalik’ (inverted racialism) sebab si antropolog meyakini bahwa sebuah kebudayaan native tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kebudayaan lain berdasarkan perbedaan fundamental diantara keduanya. Tujuan relativisme adalah menghilangkan beban stereotyping, namun pada akhirnya relativisme menjadi etnosentris baru, pembenaran bagi adanya jarak tak terjembatani (utopia) antara kebudayaan peneliti (self) dan “yang diteliti” (other). Ini adalah dehumanisasi kata Geertz, penutupan pintu komunikasi lintas budaya dan antropolog mengamputasi kemampuannya untuk berpikir kritis karena menganggap bahwa kebudayaannya (kebudayaan kulit putih) begitu khusus dan berbeda (48). Menarik bahwa walaupun Geertz meyakini antropologi budaya sebagai sebuah disiplin, namun muara akhirnya adalah moralitas dan filsafat.

[self] – [other]
Jarak itu kian menipis
Kadang kita menjadi mereka
Kadang mereka menjadi kita
All that solid melts into the air

Antropologi menyadari krisis representasi ini. Bagaimana dirinya sebagai ilmu memiliki stigma dan kecenderungan menghantam para subjek antropologis kita (yang sedang kita teliti) dari segala strategi naratif mereka yang memang tidak pernah bisa kompatibel dengan rasionalitas keilmuan. Alih-alih hendak memahami orang lain, justru antropolog mengelaminasi mereka. Harapan baik tahun 1980 akhir, ketika kita mulai menyadari bahwa strategi retorik sangatlah penting. yang berisi pembedahan naskah-naskah etnografi sebagai strategi penulisan (discourse strategy). Kegunaannya adalah mengetahui sejauh mana etnografi hadir sebagai representasi kultural melalui teks. Apa yang dibedah adalah hubungan posisional antara penulis, subjek penelitian dan teksnya sendiri (Marcus 1998). Pembedahan-pembedahan kritikal demikian membantu mengungkap banyak hal untuk memahami the Others. Tapi sungguhkah kita dapat meyelami dan merasakan suatu dunia yang betul-betul asing tadi menjadi sebuah dunia yang menjadi milik kita juga?


Puisi sebagai Jembatan menuju pemahaman reflektif
Stanley Diamond seorang antropolog Amerika menyadari bahwa salah satu cara untuk memahami kontrasnya realitas budaya “primitif” dan budayanya sendiri adalah dengan menuliskan puisi sebagai data lapangan yang penting. Bukan lagi puisi-puisi atau cerita tradisi lisan para subjek antropologis, tapi antropolog secara aktif membuat puisi-puisinya sendiri. Bahkan pengalaman poetik yang paling intens dialami antropolog ketika melakukan kontak pertama dengan informannya dalam keadaan “terculik”.

Tapi antropolog selalu merasa kesulitan untuk menembus batas dalam strategi retoriknya, tradisi keilmuan membuatnya kehilangan kosa-kata dalam menuliskan sederet pengalamannya sendiri. Malahan, pengalaman encountering dengan segala perbedaan-perbedaan kultural di lapangan kemudian ditulisnya secara dingin dan sangat “terkendali” sebab antropolog bukan orang primitif. Berpuisi dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang sering antropolog temukan dalam kehidupan-kehidupan masyarakat sederhana, terisolasi dan dilabelkan eksotis itu menjanjikan banyak kebebasan yang membuat iri siapapun juga termasuk ilmuwan dan seniman Barat. Bahkan peradaban Barat sendiri memerlukan aspek kebebasan itu, sehingga mereka memiliki katakanlah surealisme dalam ekspresi budaya yang “paling modern” termasuk lukis dan tutur mereka. Segala sesuatu yang tampak normal dijungkir-balikkan. Segala sesuatu yang sudah dikenal akrab dibuat menjadi unfamilliar dan asing-dengan cara distorsi. Primitivisme, atau suatu pemujaan terhadap eksotisme ketimuran yang kita kenal juga dengan istilah Orientalisme sebetulnya sangat didambakan, dan menjadi alter-ego bagi dunia rasional Barat dimana mereka membangun identitas peradaban mereka (Clifford 1988:252). Jadi sebetulnya perbedaan tegas antara Self-Others lebih merupakan konstruksi ilmiah yang malah seringkali dipertebal oleh penelitian kita sendiri meski kita mati-matian menolaknya.

Dengan demikian, bertutur secara “primitif”, dengan narasi yang puitis hal yang terlalu aneh, sebab sesungguhnya realitas begitu kaya dan tidak akan kehilangan kekayaannya jika dituliskan lewat puisi. Puisi bukan saja membangun suatu realitas, tapi juga mentransformasikan realitas menjadi sesuatu yang jauh lebih bermakna-meski makna itu begitu personal dan temporer. Justru disini kekuatan puisi sebagai suatu strategi retorika yang dapat dipakai membangun jembatan pemahaman antara “dunia self dan others”. Dengan berpuisi kita membuang segala beban kedisiplinan dan langsung terjun bebas merasakan suka-duka dan pahit manisnya dalam mencoba mengerti The Others. Tidak ada yang pernah benar-benar melakukannya di UI kecuali satu orang yaitu almarhum Prof. Junus Melalatoa yang selalu saja membuat puisi yang disebutnya sebagai puisi etnografi tanpa beban menjadi seorang setengah antropolog-setengah seniman. Katanya tujuannya hanya satu yaitu: saya merasakan cinta yang begitu luap ketika melakukan fieldwork.


Referensi
Clifford, J. (1988). The predicament of culture : twentieth-century ethnography, literature, and art. Cambridge, Mass., Harvard University Press.

Geertz, C. (2000). Available light : anthropological reflections on philosophical topics. Princeton, N.J., Princeton University Press.

Marcus, G. (1998). Ethnography through Thick and Thin. Princenton, Princeton University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mahmed Pujangga

Mata Pena Nalar selalu berkisah tentang kita, kehidupan kita, dan hanya kita...