Minggu, Maret 21, 2010

Sebuah Makalah Seksualitas

MEMPERJUANGKAN HAK ASASI MANUSIA
BERDASARKAN IDENTITAS GENDER DAN SEKSUALITAS DI INDONESIA*
Oleh Dédé Oetomo
Pendiri dan Anggota Dewan Pembina, Yayasan GAYa NUSANTARA
doetomo@gmail.com

Kompleksitas Seks, Gender dan Seksualitas: Perspektif Teoretik
Ilmu pengetahuan biomedik maupun psikososiokultural makin lama makin paham akan kerumitan dan keanekaragaman seks (biologis), (identitas dan ekspresi) gender dan seksualitas (orientasi, pilihan, ekpresi atau tindak/perilaku seksual) kita manusia. Sekarang kita tahu bahwa kita tidak hanya dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan saja, tetapi juga sebagai berbagai tipe interseks, dan bahwa pembagian ketiganya pun tidak selalu rapi. Namun karena dominasi binerisme dalam ilmu pengetahuan biomedik modern, banyak bayi atau anak yang seks biologisnya tidak dengan segera dapat ditentukan adalah laki-laki atau perempuan itu, acapkali tanpa memperhatikan haknya untuk menentukan nasib sendiri menjalani pembedahan atau pemberian hormon sehingga di belakang hari dapat menyebabkan keadaan yang merugikan mereka. Kita yang teliti mengamati manusia di sekitar kita juga sudah lama tahu bahwa tidak semua anak laki-laki tumbuh menjadi laki-laki dewasa, dan tidak semua anak perempuan besar menjadi perempuan dewasa. Sebagian menjadi waria, tomboi, sentul, andro, no label dll. Ilmu pengetahuan maupun gerakan hak asasi manusia (HAM) juga kian mantap dengan konsep identitas maupun ekspresi gender serta transgender(isme), yang mencakupi juga transeksual(itas) dan transvestit(isme).
Kita yang merasa diri laki-laki atau perempuan pun, apabila punya kecerdasan, kepekaan dan kebijakan untuk merenung atau berdialog dengan hati dan pikiran kita, niscaya sadar bahwa diri kita sebetulnya merupakan kombinasi yang tidak selalu stabil antara maskulinitas dan femininitas. Tak berlebihanlah yang mengatakan bahwa gender kita semua sebetulnya tidak stabil atau tetap, alias campur-campur (hibrid), berubah-ubah dengan berkembangnya kehidupan kita, cair, dan liminal atau dengan perkataan lain, kita semua sebetulnya transgender. Kita juga makin sadar akan kompleksitas seksualitas kita, apakah itu meli- batkan orientasi seksual, preferensi seksual ataupun ekspresi atau tin- dak/perilaku seksual. Alfred C. Kinsey, salah seorang perintis studi seksualitas, pada tahun 1948 dalam kajiannya Sexual Behavior in the Human Male, sudah menunjukkan bahwa orientasi seksual kita ada pada suatu skala tujuh titik antara heterosek-sualitas eksklusif (Kinsey 0) dan homoseksualitas eksklusif (Kinsey 6).
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) terbitan Direkto-rat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia; Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV dari Ikatan Psi-kiatri Amerika (APA); dan International Classification of Diseases (ICD) 10 dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), ketiga-tiganya menyatakan homo- seksuali-tas sebagai varian biasa dari seksualitas manusia, dan bahkan menganjurkan agar dalam kasus orang yang ragu-ragu akan homoseksualitasnya, psikolog dan psikiater mengarahkannya menjadi homoseks yang lebih dapat menerima diri.
Akan tetapi kesadaran cerdas mengenai ketiga aspek kemanusiaan kita itu belum menjadi bagian dari pengetahuan umum penyelenggara negara, pemimpin agama/adat ataupun masyarakat secara luas. Sebagian ilmuwan pun masih tidak mau tahu ataupun kalau sudah tahu tidak mau menerima fatwa ilmiah di atas, atas nama moralitas usang yang dianutnya tanpa berpikir jauh sebagai pengetahuan yang berterima. Sementara itu masyarakat dalam segala dinamikanya berkembang, sehingga muncul konstruksi-konstruksi sosial macam lesbi, gay, biseks, transgender (waria), metroseksual, hidup bersama tanpa nikah, selain konstruksi gender dan seksualitas yang lebih konvensional.

Kompleksitas Gender dan Seksualitas di Indonesia
Sepanjang sejarah berbagai masyarakat di Kepulauan Nusantara, konstruksi sosial gender senantiasa beraneka ragam, tidak melulu lelaki dan perempuan saja.1 Individu yang terlahir sebagai lelaki biologis tidak semuanya tunduk pada konstruksi gender lelaki secara sosial-budaya. Mereka memilih atau
mengkonstruksi sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan masyarakat pun dengan berbagai derajat penerimaan mengenali mereka sebagai banci (Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe-kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa) dan istilah-istilah lainnya yang belum semuanya dikenali bahkan oleh para peneliti gender dan seksualitas pun, namun memang ada dan dikenali oleh masyarakat setempat. Belum lagi adanya orang-orang yang interseks, yang dalam derajat tertentu memiliki (sebagian) ciri-ciri kelamin biologis lelaki dan/atau perempuan dalam berbagai kombinasi, yang acapkali disebut juga dengan istilah- istilah tadi.
Pada beberapa masyarakat adat, tidak saja penerimaan yang terjadi pada orang-orang yang menyeberang gender atau memadukan dua atau lebih gender dalam dirinya: ada pranata-pranata (institusi) yang secara signifikan melibatkan orang-orang macam itu, seperti bissu di masyarakat Bugis, yang dahulu menjaga dan memelihara arajang, pusaka kerajaan, di lingkungan istana, dan hingga kini
pun masih menjadi perantara manusia dengan para dewata, yang membantu Allah, Tuhan yang Esa; atau basir di masyarakat Dayak Ngaju, yang juga menjadi perantara antara dunia ini dengan dunia para arwah nenek-moyang; atau tadu mburake pada masyarakat Toraja Pamona, yang memimpin ritus-ritus spiritual; atau para seniman pertunjukan tradisional yang memerankan gender yang lain,
seperti pada ludruk di Jawa Timur. Secara lebih terbatas, umumnya karena androsentrisme (virisentrisme) dunia ilmu pengetahuan kita, kita kenal juga dengan konstruksi gender orang-
orang yang secara biologis perempuan, tetapi mengkonstruksi perilaku dan identitas gender yang sesuai atau lebih mirip konstruksi gender lelaki. Masyarakat Bugis mempunyai nama calalai untuk orang-orang macam ini, tetapi pada masyarakat-masyarakat lainnya, walaupun orang penyeberang gender macam ini
dikenal, tidak ada istilah yang dipakai untuk menyebut mereka. Kadang istilah seperti banci dipakai untuk menyebut orang-orang ini juga. Dalam budaya nasional kita pun dikenal identitas gender waria (wadam), dan sampai batas tertentu, tomboi. Sebagian masyarakat merancukan identitas
gender ini dengan identitas seksual macam homoseks/gay atau lesbi, dan memang acapkali terjadi tumpang-tindih antara identitas gender dan orientasi/identitas seksual seperti ini bahkan di kalangan waria maupun gay/lesbi sendiri. Belakangan ini ditengarai juga mulai timbulnya orang-orang beridentitas biseks, namun wacana sosial di seputar ini masih terbatas di masyarakat kita.
Menengok berbagai masyarakat adat, kita temukan juga hubungan seksual dan/atau emosional antarlelaki, baik di antara mereka yang sebaya maupun yang beda usia (transgenerasi). Apakah di Atjeh di kalangan ulëëbalang (umumnya dengan budak belian dari Nias) maupun di lingkungan perdagangan di pantai timur dan barat di masa lampau, di Minangkabau (induak jawi—anak jawi) dalam konteks kehidupan di surau, di Ponorogo (warok, warokan, gemblakan) dalam konteks ilmu kanuragan dan kesenian reyog, di pesantren-pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur (mairilan, amrot-amrotan) serta Madura (laq-dalaqan) dalam konteks kehidupan nyantri/nyantre, maupun di beberapa budaya Melanesia dalam konteks ritus inisiasi anak laki-laki, hubungan antarlelaki, dengan berbagai
pemaknaan sosial-budaya, memang ada, termasuk hubungan-hubungan “biasa” (artinya, tidak dalam konteks ritual tertentu) seperti di Jawa dan Bali, umpamanya. Yang signifikan adalah bahwa hubungan itu hampir senantiasa terjadi bersamaan dengan maupun disusul oleh pernikahan atau hubungan
dengan perempuan atau kadang-kadang juga individu semacam waria. Dalam budaya nasional kita, di mana dikenal pranata waria, juga cukup banyak lelaki yang menjalin hubungan seksual dan/atau emosional, baik kasual maupun lebih permanen, dengan waria. Dalam berbagai kasus anekdotal pun kita
temukan perempuan (baik yang beridentitas lesbi maupun tidak) yang menjalin hubungan dengan waria, baik dalam pernikahan sah (karena warianya dipandang lelaki oleh agama dan hukum) maupun di luarnya.
Kembali kiranya karena androsentrisme ilmu pengetahuan, belum banyak yang kita ketahui tentang hubungan antarperempuan dalam berbagai masyarakat adat kita. Pernah dicatat adanya warok perempuan dan gemblakannya di Ponorogo, namun tampaknya tidak banyak. Di dunia pesantren budaya Jawa dan Madura ditengarai juga ada hubungan antarsantri perempuan, yang disebut
dengan istilah musahaqah. Sebagaimana pada hubungan antarlelaki tadi, perlu dicamkan bahwa hubungan antarperempuan ini berjalan bersamaan dengan atau disusul oleh hubungan dengan gender lain, apakah itu dalam pernikahan atau tidak, dan unsur kesukarelaan acapkali tidak relevan, terutama untuk perempuan ini, mengingat sifat pernikahan yang cenderung masih didasarkan pada anggapan bahwa perempuan tidak sepatutnya berkehendak bebas dan seksualitas. Di masyarakat modern tentunya kita kenal hubungan seksual dan/atau emosional antarperempuan, baik oleh mereka yang mengenal konsep lesbi atau tidak. Ditengarai di kalangan perempuan yang bekerja di industri seks juga cukup banyak terjadi hubungan macam ini, yang baru sedikit dikenal oleh dunia ilmu
pengetahuan.
Pendek kata, dapatlah dikatakan bahwa konstruksi gender dan seksualitas di masyarakat-masyarakat Nusantara maupun masyarakat Indonesia masakini adalah teramat kompleks dan beraneka ragam. Kaum ilmuwan, aktivis sosial, maupun anggota masyarakat sendiri, seringkali masih tidak tahu atau sengaja membisukan (karena berbagai alasan: moralitas, rasa risih, kemalasan berpikir) kenyataan yang rumit dan asyik ini. Mereka yang berpretensi menekuni bidang kajian gender pun cenderung hanya mewacanakan isyu-isyu perempuan (dengan hampir secara kategoris melupakan kaum lesbi maupun kemungkinan perilaku biseksual, maupun acapkali enggan membahas perempuan dalam industri seks
dengan berbagai kompleksitasnya), sehingga akhirnya kajian gender di Indonesia hanyalah merupakan istilah lain untuk “kajian wanita,” serta tidak memproblematikkan maskulinitas. Konstruksi teoretis gender mereka pun umumnya tidak menangkap kemungkinan kompleks kecairan, kehibridan dan liminalitas gender. Orang-orang yang sama juga cenderung tidak memperhatikan seksualitas, selain dalam wujud perilaku reproduksi atau perkosaan dan tindak kekerasan lainnya. Juga kurang diperhatikan adalah kompleksitas berbagai dimensi hubungan seksual dan/atau emosional: perbedaan anatomi (termasuk difabilitas), kebangsaan dan etnisitas, kelas sosial, keterlibatan uang dan materi
lainnya, serta dimensi-dimensi relasi kuasa lainnya.2
Eksistensi dan Diskriminasi
Dengan latar atau dalam konteks yang kompleks macam itulah perjuangan menegakkan hak asasi manusia (HAM) berdasarkan (identitas atau ekspresi) gender dan seksualitas di Indonesia dilaksanakan.
Secara ringkas dapatlah dikedepankan bahwa di masyarakat kita ada orang-orang yang berkonstruksi gender yang tidak sesuai dengan kerangka hegemonik yang ditentukan oleh negara, agama, budaya, bahkan juga ilmu pengetahuan, yang hanya mengakui dua gender (tak kompleks): lelaki dan perempuan. Secara umum dikenal istilah waria dan tomboi, selain istilah-istilah setempat yang telah disebutkan tadi.
Kita yang konstruksi gendernya tidak sesuai itu dapat mengalami perlakuan yang diskriminatif, mulai dari kekerasan fisik (penganiayaan, ancaman pembunuhan, penggundulan atau yang lain) hingga kekerasan simbolik (pelecehan, pemaksaan untuk menyesuaikan diri dengan konstruksi gender yang
dianggap pantas untuk kita oleh mereka yang berkuasa di keluarga atau masyarakat). Perlakuan diskriminatif juga dapat terjadi ketika kita berhadapan dengan aparat negara: waria dan lelaki yang feminin (yang acapkali dianggap sama saja dengan waria oleh petugas) yang ditemukan di tempat umum dan diduga melakukan kerja seks dapat dirazzia (diobrak, digaruk), dan apabila
sampai dibawa ke tempat tahanan dapat dipaksa melakukan hubungan seks (biasanya oral) terhadap petugas. Paksaan melakukan hal ini dapat juga terjadi pada tahanan waria dalam perkara yang lain. Hubungan seksual dan/atau emosional yang kita jalin dengan sebagai waria dengan lelaki atau sebagai tomboi dengan perempuan tidak dapat dicatatkan sebagai perkawinan seperti hubungan
antara perempuan dan lelaki yang berniat mencatatkan perkawinannya. Kewariaan kita umumnya tidak dapat secara tegas dicantumkan pada kolom jenis kelamin di penanda identitas kita, kalaupun itu kita kehendaki dan penampilan kita memang menunjang. Akibatnya dapat terjadi kebingungan yang dapat
merugikan kita. Kadangkala keluarga memaksa kita untuk menjalani perkawinan heteroseks, yang dapat membawa akibat yang lebih jauh lagi. Diskriminasi serupa juga terjadi bagi kita yang beridentitas gay, lesbi atau biseks. Tidak semua dari kita dapat terbuka menyatakan diri di lingkungan
keluarga, sekolah, pekerjaan dan masyarakat pada umumnya, dengan akibat keadaan tertekan yang dapat terjadi seumur hidup. Dorongan yang kuat dari berbagai pihak untuk menjalani perkawinan heteroseks juga menjerumuskan banyak gay dan lesbi, serta istri/suami kita apabila kita mengikuti dorongan itu, dalam penderitaan yang tak berkeputusan sepanjang hidup.
Di ranah publik sering kita dengar larangan dan ancaman dari para pemimpin agama, yang tanpa berpikir panjang dan membaca lebih cermat teks- teks keagamaan dengan mudahnya menyatakan kita sebagai orang berdosa. Hal ini amat menyakitkan bagi kaum gay, lesbi, waria dan biseks di Indonesia justru karena banyak di antara kita adalah orang-orang beriman. Kebisuan, tidak adanya
pengakuan atau tidak dibicarakannya kita dalam kehidupan bermasyarakat juga merupakan perilaku diskriminatif. Media massa jarang membahas isyu-isyu yang penting untuk kaum gay, lesbi, waria dan biseks; kalaupun ada liputan, seringkali kita diperlakukan hanya sebagai objek aneh yang apabila diliput dapat meningkatkan tiras. Yang belakangan ini kian lantang terdengar adalah suara kaum interseks,
yang menuntut integritas tubuh anak atau remaja yang lahir dengan ciri kelamin primer maupun sekunder yang dianggap tidak sesuai dengan kelamin “normal”.
Mengorganisasi Komunitas Gay, Lesbi, Waria dan Biseks
Dengan latar represi terang-terangan maupun tersembunyi terhadap orang-orang gay, lesbi, waria, biseks dan interseks, diperlukan kepemimpinan yang kuat untuk berorganisasi dan menegakkan hak-hak kaum kita. Kaum waria adalah yang pertama kali berorganisasi pada akhir tahun 1960-an. Organisasi gay terbuka baru yang pertama di negeri ini, Lambda Indonesia (LI), baru muncul pada tahun 1982. Diduga pada saat yang hampir bersamaan muncul organisasi Persatuan Lesbian Indonesia (Perlesin).3 Perluasan gerakan gay (dan kemudian lesbi) Indonesia terjadi ketika perhatian media terfokus pada isyu-isyu di seputar homoseksualitas, khususnya dengan berdirinya GAYa NUSANTARA pada tahun 1987. Jumlah
organisasi meningkat dari hanya dua pada akhir tahun 1980-an menjadi lebih dari sepuluh pada tahun 1993, ketika Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) I diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta.4
Sejak awal tahun 1990-an, wacana publik tentang HIV/AIDS, dengan sertaannya wacana tentang seksualitas, termasuk homoseksualitas, menjadi kian menonjol, sehingga dalam kaitan dengan aktivisme di seputar penyakit ini, berdiri juga beberapa organisasi gay di berbagai tempat di Indonesia.
Pada tahun 1996, Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang dideklarasikan pada bulan Juli tahun itu, dengan tegas menyatakan perjuangan menegakkan “hak-hak kaum homoseksual dan transeksual” dalam manifestonya. Dengan diresmikannya secara legal PRD pada tahun 1999, jumlah organisasi gay di
berbagai daerah juga meningkat. Seiring dengan makin terbukanya ruang demokratik sesudah Mei 1998, berbagai organisasi gay juga terlibat dalam kerja sama dengan kekuatan-kekuatan prodemokrasi lainnya dalam masyarakat kita. Pada Pemilu Legislatif 2004 secara informal dan malu-malu seorang caleg nasional PDIP menghubungi beberapa organisasi lesbi, gay dan waria untuk mendapatkan dukungan. Pada Pemilihan Presiden 2004, setidaknya di Jawa Timur, tim Mega- Hasyim mulai mendekati kelompok-kelompok gay dan waria, tetapi juga belum sepenuh hati.
Sejak tahun 2004 pula, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN- HAM) yang disusun oleh Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, Departemen Hukum dan HAM, secara resmi dan eksplisit memasukkan lesbi, gay, biseks dan waria (dengan istilah LGBT) sebagai kelompok khusus yang perlu dilindungi. Program konkret sedang disusun saat ini. Maka perkembangan organisasi gay dapat dibagi menjadi tiga tahap: tahap kontroversi di media massa, tahap pemberdayaan melalui program HIV/AIDS,
dan tahap aliansi politik dengan kekuatan-kekuatan prodemokrasi dan HAM. Pengorganisasian lesbi merupakan usaha yang lebih sulit. Organisasi lesbi yang ada, yang jumlahnya sedikit, tidak terbuka pada media massa. Kita juga mengalami penindasan ganda: diskriminasi terhadap perempuan, dan terhadap
orang-orang dengan seksualitas yang “tidak lazim.” Namun pada bulan Desember 1998, isyu-isyu lesbi dibahas pada Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta, dan seorang lesbi terbuka dipilih untuk duduk mewakili sektor lesbi (Sektor 15) pada presidium Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan
Demokrasi yang dibentuk pada Kongres itu. Dalam dua tahun terakhir ini juga gencar komunikasi antarlesbi melalui internet, dengan hasil berupa pertemuan bulanan di berbagai lokasi di Jakarta.
Satu fenomena yang penting dalam sejarah gay, lesbi, waria dan biseks di Indonesia adalah muncul organisasi-organisasi waria sudah sejak akhir tahun 1960-an. Hal ini tampaknya merupakan hasil keterbukaan sejenak yang menandai awal rezim Soeharto kala itu. Memang dalam profesi yang terbatas sebagai artis, penata kecantikan, perias penganten dan paranormal, waria mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia.
GAYa NUSANTARA
GAYa NUSANTARA (GN) menyediakan layanan bagi kaum gay (dan dalam batas tertentu juga bagi waria, lesbi dan biseks), seperti pendidikan kesehatan seksual, konseling (melalui hotline telepon, korespondensi serta tatap muka), dan penerbitan majalah bulanan (tiras: 400–800 eksemplar). Kami juga menyelenggarakan advokasi melalui media massa dengan menyediakan diri
untuk diliput. Organisasi nonpemerintah ini juga menjalin aliansi dengan organisasi prodemokrasi, HAM, dan feminis. Dengan berkomunikasi melalui media, kami sebagai organisasi kecil dapat mendidik masyarakat umum tentang isyu-isyu kesehatan seksual gay.
Kerja GN dalam gerakan gay Indonesia penuh dengan tantangan. Dari tahun 1993 hingga 1999, program HIV/AIDS pemerintah memarginalkan GN karena kuatnya heteroseksisme dan homofobia di kalangan pemerintah. Namun keadaan telah perlahan-lahan membaik. Sesudah cukup lama kesehatan seksual
lelaki tidak mendapatkan perhatian yang semestinya, sejak 2001 ada program di bidang itu di berbagai daerah di Indonesia. Diharapkan dengan konsepsi kesehatan seksual fisik, psikologis dan sosial yang terpadu, akan kian berkembang komunitas-komunitas di berbagai daerah, dengan pemahaman yang menyeluruh tentang HAM dan kesadaran hukum. Harus diperjuangkan juga agar program semacam itu membuka kesempatan untuk agenda politik yang pada akhirnya bermuara pada perubahan hukum dan kerja dengan serikat buruh.
Hasil jerih-payah GN dalam memperjuangkan hak-hak asasi dan seksual kaum gay mendorong kita untuk terus memainkan peran pemimpin dalam bidang ini. Bahkan sejak 2004 kita memperluas amanat organisasi sehingga tidak melulu memperjuangkan isyu ataupun kaum lesbi, gay, biseks dan waria, tetapi juga siapa pun yang beragam seks, gender dan seksualitasnya.
Surabaya, 9 Agustus 2006

*Naskah presentasi pada Semiloka Hak atas Kebebasan Pribadi bagi Kelompok Lesbian,
Gay, Biseksual, Interseksual, Transgender dan Transeksual, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Kuta, 15–16 Agustus 2006. Versi sebelumnya pernah dipresentasikan pada Workshop on The Role
of Civil Society in Advancing Human Rights within the Current Socio/Political Context, Hivos–
ELSAM, Puncak, 17–18 Mei 2005; dan pada Halaqah Orientasi Seks dalam Perspektif Gender dan
Tradisi Islam, Rahima, Jakarta, 28–29 April 2005. Sebagian pernah terbit sebagai “Claiming Gay
Persons’ Sexual Rights in Indonesia,” Sexual Health Exchange 2001/3, hal. 7–8
(www.kit.nl/ils/exchange_content/ html/2001-3-claiming_gay_persons.asp), dengan penyesuaian
seperlunya, khususnya latar belakang konseptual yang lebih terjabar. Terima kasih diucapkan
pada Joost Hoppenbrouwer atas pengeditan tulisan itu. Sebagian pula didasarkan pada kata
pengantar saya, “Demi Kebahagiaan Anak Kita ...,” dalam Poedjiati Tan, Mengenal Perbedaan
Orientasi Seksual Remaja Puteri (Yogyakarta, Galang, 2005), hal. 5–9.

1Untuk uraian yang lebih lengkap, periksa Dédé Oetomo, “Homoseksualitas di
Indonesia,” dlm Memberi Suara pada yang Bisu (Yogyakarta, Galang, 2001), hal. 30–36. Informasi
tambahan dan kerangka pikir seks dan gender mengenai bissu dan gender-gender lain pada
masyarakat Bugis diperoleh dari Sharyn Graham, “Sulawesi’s Fifth Gender,” Inside Indonesia
(www.insideindonesia.org) 66 (April–June 2001), hal. 16–17.
2Untuk kajian paling komprehensif mengenai hal ini, periksa Tom Boellstorff, The Gay
Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia (Princeton, Princeton Univ. Press, 2005).
3Informasi dari Saskia Wieringa, yang sedang melakukan penelitian mengenai hal ini.
4Kongres II dan III masing-masing diselenggarakan di Lembang, Jawa Barat (1995) dan
Denpasar, Bali (1997). Sesudah itu terjadi vakum, hingga tahun 2004, ketika diselenggarakan
Pertemuan Nasional Seksualitas dan Kesehatan Seksual Laki-laki, yang de facto sebetulnya
semacam kongres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mahmed Pujangga

Mata Pena Nalar selalu berkisah tentang kita, kehidupan kita, dan hanya kita...