Senin, Mei 16, 2011

Dialog SUNNAH - SYIAH

" Bertanyalah engkau pada ahlinya " sungguh benar adanya...

Dibawah ini ada Dialog antara Mahasiswa dengan Ust.Husein Al-Habsyi( Bangil) sewaktu beliau masih hidup. Sengaja saya menampilkan notes ini (yang telah diedit) yang saya dapatkan dari Facebook dengan alamat http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150594230545215...
Untuk teman-teman yang berkenan membaca dan yang sedang mencari-cari tahu lebih jauh tentang Syi'ah, semoga apa yang menjadi pertanyaan bisa sedikit banyak terjawab setelah membaca notes ini...
selamat menikmati, semoga bermanfaat.

Sunnah-Syi’ah dalam dialog antara Mahasiswa UGM, UII Yogyakarta dengan Ustadz Hussein Al-Habsyi

Mahasiswa: Ustadz Husein yang terhormat, kedatangan kami ini bertujuan untuk silaturahmi. Kami rombongan mahasiswa dan Yogya, sebagian kami ini dan Universitas Islam Indonesia dan ada juga dan Universitas Gajah Mada. Kami banyak mendengar tentang Mazhab Syi’ah dan beberapa Ulama yang pernah kami datangi. Tetapi kami belum merasa puas karena masih ada beberapa jawaban yang kurang tepat menurut kami. Sekarang kami minta agar Ustadz menjelaskan masalah Madzhab Syi’ah ini, dan kami telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang kami anggap perlu.

Ustadz Husein: Saudara-saudara mahasiswa dari Yogya, Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuhu. Saya bahagia atas kedatangan saudara-saudara kepada saya, apalagi dengan tujuan yang baik yaitu silaturrahim. Saya bersyukur kehadirat Allah karena saudara-saudara masih mempunyai keinginan untuk mengetahui Sebuah Madzhab, yang selama ini di Indonesia tidak terkenal. Tetapi kemudian setelah dikenal banyak fitnah yang ditujukan kepada Madzhab ini. Namun sayang saudara-saudara, sebab saya sendiri bukan Syi’ah. Jadi sebenarnya lebih tepat bila saudara-saudara terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada yang menyatakan bahwa dirinya memang orang Syi’ah.

Pertama: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”

Mahasiswa: “Walaupun Ustadz bukan seorang Syi’ah tetap kami rasa paling tidak Ustadz telah membaca tentang Madzhab ini. Jadi kami rasa tidak salah bila kami bertanya kepada Ustadz. Dan sebaiknya kami langsung saja bertanya. Pertanyaan kami yang pertama adalah: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”

Ustadz Husein: Baiklah saudara-saudara, saya akan menerima desakan saudara agar saya menjawab pertanyaan saudara-saudara Insya Allah, namun sebaiknya dalam majelis ini kita hindarkan perdebatan. Saya sangat tidak setuju bila majelis seperti ini yang sedianya bermaksud mencari ilmu, mendengar sesuatu yang bisa menambah ilmu, kemudian berbalik menjadi majelis perdebatan, sedangkan perdebatan itu hanya akan membawa permusuhan. Jadi kalau itu terjadi, maka hilanglah maksud yang baik dan majelis ini.

Saudara-saudara yang terhormat! Menjawab pertanyaan saudara ini saya kira mengkafirkan sesama muslim, bukan saja tidak dibenarkan oleh syariat Nabi Muhammad Saww tetapi juga tidak pantas dan juga tidak menguntungkan baik dipihak Syi’ah maupun Ahlus Sunnah, bahkan bisa melemahkan keduanya.

Kita sekarang ini tidak perlu Syi‘ah atau Sunnah menjadi bahan gaduh di antara kita, kaum muslimin. Kita perlu Islam yang bersumber kan Al-Qur’an dan Al-hadits diterapkan pada diri kita.

Kita memerlukan ukhuwah, memerlukan pengumpulan dana dan seluruh masyarakat dan organisasi Islam untuk menebus jutaan pemuda muslim yang sekarang diambang....

Untuk menyelamatkan mereka, barangkali kita perlu mengurangi belanja rumah tangga dan uang jajan anak-anak kita. Dan gadis- gadis serta wanita kita, harus mengurangi segala macam kelebihan benda-benda yang tidak diperlukan seperti alat-alat make-up dan sebagainya, karena uang itu nanti akan kita sumbangkan kepada penduduk yang miskin di antara kaum muslimin.

Sekarang kita membuang uang untuk mencetak buku-buku, membagikan buku-buku secara gratis yang hanya isinya caci-maki, tuduh-menuduh dan kafir-mengkafirkan. Sehingga uang ratusan juta di Indonesia ini kita habiskan hanya untuk membumihanguskan rumah tangga kita sendiri. Apakah tindakan seperti ini cocok dengan syariat, sesuai dengan akal sehat, pantas dengan waktu seperti sekarang dan sejalan dengan politik perjuangan dewasa ini? Biasanya tindakan-tindakan semacam itu diilhami oleh wawasan yang sempit, fanatisme yang bergejolak di dada, atau kesempitan akhlaq dan kedengkian yang mendalam terhadap sesama muslim. Paling tidak itu hanya intrik dan zionisme atau salibisme internasional. Kita (Ahlussunnah) mengkafirkan Syi‘ah Imamiyah berdalilkan teks books kita dan secara subyektif serta in-absentia. Ini salah satu dan wawasan yang sempit, sebab kita tidak berhadapan dengan mereka secara langsung. Belum pernah kita mengadakan diskusi bersifat final antara Ulama Syi‘ah dan Ulama kita. Kita mencaci mereka dengan menggunakan dalil buku-buku orientalis, itu juga menunjukkan wawasan yang sempit.

Kita kafirkan mereka berdasarkan caci-maki, ejekan dan segala macam kebohongan, itu juga merupakan akhlaq yang sempit. Orang yang berwawasan sempit akan mengatakan, bahwa kita (Ahlus sunnah) ini juga melakukan tahrif, seperti kita mengatakan bahwa Syi’ah melakukan tahrif dan begitu seterusnya. Saya kira hal ini perlu saudara-saudara camkan sebelum majelis ini akan kita lanjutkan nanti.

Kedua: Bagaimana Pendirian Mazhab Syi’ah Tentang Sahabat Nabi?

Mahasiswa: Ustadz Husein yang terhormat, terima kasih atas keterangan yang disampaikan kepada kami. Sebelum kami melanjutkan pertanyaan yang kedua, kami ingin kembali dengan jawaban Ustadz Husein yang pertama tadi, yakni Ustadz Husein menyatakan bahwa kita tidak perlu saling mengkafirkan di antara kaum Muslimin. Namun kami sering mendengar bahwa orang-orang yang berfaham Syi‘ah sering mengkafirkan Sahabat Nabi Saww. Kalau itu tidak benar, kami ingin menanyakan kepada Ustadz: “Bagaimana sebenarnya pendirian orang Syi‘ah terhadap para Sahabat Nabi Saww?

Ustadz Husein: Dalam masalah ini, sebenarnya dua Madzhab ini mempunyai dua pendapat dan dua pendirian masing-masing. Kalau Madzhab Syi’ah itu, membagi para sahabat Nabi menjadi tiga bagian sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab mereka antara lain sebagai berikut:[1]

Bagian pertama: Adalah sebagian sahabat yang benar-benar taat dan setia kepada Rasulullah Saww, tidak pernah melanggar dan tidak pernah membantahi dan sebagainya. Antara lain yang disebut-sebut oleh Syi’ah ialah nama-nama: Ammar, Al-Asytar, Abu Dzar, Salman, Jabir bin Abdillah, dan sebagainya. Begitulah menurut mereka.

Bagian kedua: Ialah sahabat-sahabat yang pernah berbuat sesuatu yang kurang menampakkan kesetiaannya kepada Rasulullah Saww. Dan perbuatan-perbuatan mereka itu disebutkan serta ditulis di dalam kitab-kitab standard hadits kita seperti, Bukhari, Muslim dan lain sebagainya. Syi’ah pun mempunyai jalur yang meriwayatkan hal seperti itu, kemudian Syi‘ah berpegangan bahwa mereka itu (sahabat) dalam pembagian kedua ini memang masih harus diseleksi dan diragukan.

Bagian ketiga: Yaitu sahabat yang dianggap munafiq, orang-orang seperti ini masuk dalam batas kufur. Yang menyatakan adanya munafiq dari kalangan sahabat itu adalah Nabi sendiri. Di dalam Hadits-hadits yang diriwayatkan Bukhari yang di antaranya menyatakan: “Bahwa kelak dihari kiamat beliau Saww berada di Haudh, tiba-tiba datang para Sahabat lalu mereka mau minum, Rasul mau melayani mereka, tetapi mereka dijauhkan dari Rasul, Rasul ditanya: “Engkau tidak tahu wahai Muhammad, apa yang telah mereka lakukan serelah engkau wafat.”[2]

Juga dalam Al-Qur’an disebutkan: “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu ada orang-orang munafik; dan (juga) dl antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Q.S.9: 101)

Ayat-ayat dan Hadits-hadits seperti ini banyak, dan oleh kaum Syi’ah Imamiyah hal itu dijadikan pegangan dan mereka tidak akan meninggalkan, karena mereka menganggap itu juga nash, mereka tidak boleh mempunyai pendapat di samping nash.

Adapun kalangan kita Ahlussunnah, menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali adalah “udul” artinya orang yang bisa dipercaya. Orang-orang baik, setidak-tidaknya mereka pernah melihat wajah Nabi Saww dan pernah ada di sekitar Nabi, itu baik dan itu pendapat. Ya... agar tidak terlalu banyak hal yang akan menimbulkan pertanyaan, pokoknya semua baik, sudah. Jadi kalau ada satu riwayat tentang kesalahan yang jelas di kalangan para sahabat itu, kita Ahlussunnah menganggapnya itu adalah ijtihad sahabat.

Kemudian Kita ta‘wilkan dan tafsirkan sampai akhirnya mereka dianggap mendapat pahala (sebagai orang yang mendapatkan fadhilah), dapat ganjaran. Misalnya sahabat membunuh sahabat. Muawiyah memerangi Ali sampai beberapa belas ribu orang sahabat gugur. Kita mengatakan Muawiyah itu berijtihad dan ijtihadnya itu sampai memerangi Ali bin Abi Thalib, dan kita mempunyal kaidah ushul:

Apabila hakim berijtihad, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat satu pahala.[3]

Jadi minimal Muawiyah bin Abi Sufyan mendapat satu pahala. Begitulah sikap kita Ahlussunnah terhadap para sahabat. Tentu masing-masing Madzhab mempunyai pendirian sendiri dalam beberapa masalah, dan kita yang berpendirian seperti ini seharusnya menghormati pendirian orang lain. Kalau Syi ‘ah mengkafirkan orang-orang munafik, kita tidak boleh mengkafirkan mereka, karena mereka hanya mengkafirkan sebagian sahabat yang munafik yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Hadits-hadlts. Mereka punya dasar dan alasan, -setidaknya mereka berijtihad dan berdasarkan nash yang ada pada kita juga, jadi tidak boleh kita salahkan begitu saja. Kita boleh menerima atau tidak menerima pendapat itu. Kalau kita tidak menerima pendirian mereka ini maka kita kembali kepada pendirian kita, yaitu semua sahabat itu “udul” tanpa kecuali. Inilah pendapat saya tentang masalah kedua ini. Jadi masalah ini kita serahkan kepada pendirian kita sendiri dan bagaimana akal serta logika kita mengkaji masalah-masalah seperti ini. Kalau Syi’ah kita anggap mengkafirkan sebagian dan para sahabat lalu kita vonis mereka ini kafir maka hal ini tidak benar. Sebab kita mesti tahu dengan alasan apa mereka mengkafirkan itu? Kalau alasannya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits maka itu adalah hak mereka dan kalau kita tidak sependapat dengan itu, maka itu adalah hak kita.

Mahasiswa Setelah mendengar keterangan dan Ustadz, kami jadi ingin bertanya lebih jauh. Jika demikian, apa bedanya pendirian Syi’ah dan Ahlussunnah men genai sahabat?

Ustadz Husein: Tadi sudah saya jawab bahwa perbedaan kita dengan mereka ialah bahwa Imamiyah mengatakan, sahabat itu dibagi menjadi tiga kelompok (ditinjau dan sudut keimanan mereka). Yang paling tinggi di antara mereka adalah para sahabat yang tidak pernah berbuat sesuatu yang tercela dan mereka tidak pemah berbuat salah. Yang kedua adalah mereka yang pernah membuat kesalahan sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi yakni sahabat membunuh sahabat, sahabat mencerca sahabat dan sebagainya. Yang ke tiga yaitu sahabat yang munafik dan sifat mereka yang munafik ini sudah jelas tampak. Namun sikap kita Ahlussunnah menganggap bahwa semua sahabat itu “udul”. Kalau sekiranya ada perbuatan yang menyimpang maka kita ta‘wilkan, sehingga kadang-kadang terus terang saja saya ingin menegaskan ta‘wil kita itu bertentangan dengan nash. Jadi seakan-akan kita mengatakan bahwa syariat Islam ini tidak berlaku atas sahabat, dan ini tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah Saww. Rasulullah sendiri pernah bersabda: ‘Andaikata Fatimah binti Muhammad AS mencuri, niscaya akan aku potong tangannya’.[4]

Jadi, Fatimah yang merupakan sepenggal dari badan Nabi dan yang paling dicintai di dunia ini di antara manusia-manusia yang hidup, andaikan beliau tercinta itu mencuri, maka Nabi akan memotong tangannya! Maka saya kira sahabat yang lain pun tidak berhak untuk mendapat kekebalan hukum atau kita menta‘wilkannya.

Ketiga: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?”

Mahasiswa: Kami masih ingin menanyakan tentang satu masalah, dan masih sekitar masalah sahabat cuma kami lebih menyempitkan permasalahan ini. Pertanyaan kami: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khaltfah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?”

Ustadz Husein: Dalam masalah ini dua Madzhab ini mempunyai dua pendapat dan dua pendirian. Dua pendirian itu tidak bisa dikompromikan sebab konsekwensinya seseorang yang memegang pendirian harus tetap dan teguh atas dali-dalil yang diyakininya.

Sekarang kita mendapati ada dua golongan. Satu golongan yang meyakini bahwa Nabi Saww dalam beberapa Hadits menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin setelah Beliau, misalnya Hadits Ghadir yang berbunyi: “Barangsiapa menjadikan aku sebagai pemimpilnnya maka Ali juga pemimpinnya.”[5]

Dan Hadits Tsaqalain yang berbunyi: “Aku Tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, yaitu Al-Qur‘an dan Itrah Ahli Baitku. Kalau kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan sesat.”[6]

Kemudian Hadits Manzilah ketika menjelang perang Tabuk: “Kedudukan engkau dan aku sebagaimana kedudukan Harun dan Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelah aku.“[7]

Dan masih banyak lagi Hadits yang seperti itu yang jelas dan tidak bisa diragukan lagi bahwa Nabi Saww menunjuk Ali dengan perintah Allah menjadi Khalifah setelah Beliau.

Jadi Nabi dengan tegas mengatakan sesudah Beliau hanya Ali sebagai penerusnya. Jika ada orang lain menjabat itu maka menurut Syi’ah jabatan itu tidak sah. Sebab mungkin seperti seorang gubernur yang menjabat sebuah propinsi karena desakan orang-orang disekitarnya tanpa dia menerima surat keputusan dari presiden maka hal itu tentunya tidak dianggap sah. Masalah ini menurut Syi’ah adalah masalah yang prinsip. Sebab Imamah menurut mereka merupakan masalah yang sangat mendasar.

Kita -Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti itu. Kita mengatakan bahwa Nabi tidak meninggalkan pesan apapun,[8] sehingga untuk mengangkat pemimpin, sahabat menjalankannya dengan musyawarah di antara mereka. Dan syuroh itu memilih Abu Bakar sebagai Khalifah pertama.[9] Kemudian oleh beliau jabatan selanjutnya diserahkan kepada Umar Ra sebagai Khalifah kedua, menjelang wafat, Umar menunjuk 6 orang untuk memilih seorang Khalifah. Kemudian Utsman menjadi Khalifah ketiga,[10] di antara 4 Khalifah ini menurut sejarah kita Ahlussunnah hanya Ali saja yang dipilih secara aklamasi oleh seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali. Jadi pemilihan empat Khalifah itu dilakukan dengan empat macam cara.

Hal ini oleh kaum muslimin sekarang khususnya Ahlus Sunnah merupakan cara yang wajar dan cukup memadai serta tidak salah. Dengan demikian kita menganggap ketiga Khalifah itu adalah sah, sedang Syi’ah tidak demikian. Mereka menginginkan Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah Saww.

Sedangkan kita seakan -akan tidak membenarkan adanya penunjukan. Padahal sebenarnya kalau kita sabar meneliti dan membaca hadits-hadits sehubungan dengan itu, kita akan tahu bahwa sebagian dan sahabat waktu itu mengakui adanya penunjukan. Di antaranya terbukti ketika mereka berkumpul di tempat bernama Khum, Nabi mengangkat Ali sebagai wali sesudah beliau, maka Sayyidina Umar diriwayatkan datang kepada Ali dan menjabat tangan beliau sambil mengatakan: “Selamat wahai putera Abu Thalib! Engkau hari ini menjadi wali tiap mu ‘min.”[11]

Bila demikian Hadits yang diucapkan oleh Nabi di Ghadir Khum, saya kira tidak bisa disalahkan, jadi memang betul Hadith dan kejadian itu memang ada, namun sebagian dan kita mengatakan tidak demikian.[12] Oleh karena itu mereka kembali kepada syuro (musyawarah).

Menurut Syi‘ah Imamiyah, syuro semacam itu tidak memenuhi syarat sebab sahabat-sahabat yang berjumlah sekitar 100 ribu orang itu, yang ada di kota Madinah paling tidak sejumlah 2000 orang dan dari jumlah itu yang hadir dalam musyawarah pengangkatan Abu Bakar paling banyak 100 orang. Bahkan dari 100 orang itu tidak semuanya sepakat, tidak aklamasi dan di antara mereka ada yang mengatakan: “Minna Amir Wa minkum Amir” (Dari kami harus ada pemimpin dan dari kalian angkatlah pemimpin sendiri).

Sehingga hampir-hampir terjadi tindakan kekerasan hingga Sayyidina Umar Ra berkata: “Bunuhlah Sa ‘ad bin Ubadah pemimpin Anshar itu!”[13]

Dengan demikian tidak cukup memadai untuk syuro itu. Kemudian dikatakan pula syuro tersebut tidak memadai karena ahli-ahli syuro dari Bani Hasyim, seperti Ali, Abbas dan sebagainya tidak ada yang hadir dan kaum Anshar pun tidak semuanya hadir karena tidak tahu.[14]

Karena itu Umar pada akhirnya berkata: Bai‘at Abu Bakar itu adalah sesuatu yang Faltah”[15] (secara tergesa-gesa) yang Alhamdulillah Allah menyelamatkan kita dari akibat buruknya. Jadi tampaknya seperti diatur supaya cepat, sebab kalau semua sahabat hadir mungkin pemilihannya tidak seperti apa yang terjadi itu. Begitulah pendapat Syi‘ah.

Keempat: Benarkah Syi’ah meragukan Hadith Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya?

Mahasiswa: Sekarang kami lebih merasa puas dengan penjelasan Ustadz kami ingin bertanya tentang Abu Hurairah. Kita sama tahu bahwa sekarang ini Abu Hurairah sedang diteliti kembali. Pertanyaan kami: Apakah benar Syi‘ah Imamiyah ini meragukan Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya? Apakah dengan membuang Hadits-hadits riwayat Abu Hurairah, Islam ini tidak lenyap? Dan bagaimana akhirnya?

Ustadz Husein: Tentang Abu Hurairah, kaum Imamiyah mempunyai jalur riwayat-riwayat beliau, sejarah atau biografi beliau. Dan hal ini telah diungkapkan oleh kedua belah pihak bahkan kita memiliki juga riwayat-riwayat tentang Abu Hurairah di dalam kitab-kitab Al-Isti‘ab karya Ibnu Abdil Bar, Al-Ishobah oleh Ibnu Hajar dan lain-lain. Juga beberapa kitab tarikh meriwayatkan juga tentang Abu Hurairah ini secara rinci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mahmed Pujangga

Mata Pena Nalar selalu berkisah tentang kita, kehidupan kita, dan hanya kita...