Kamis, Maret 24, 2011

BERPIHAK KEPADA KAUM WARIA

Muhammad Syaiful*
(04.13 WITA, 22 Maret 2011)

Waria merupakan “produk” ciptaan modernitas adalah sebuah pandangan yang keliru. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penjelasan didalam salah satu kitab tertua di Sulawesi Selatan yakni kitab “La ga Ligo”. Kitab tersebut konon merupakan rujukan paling komprehensif untuk memahami sejarah dan kebudayaan klasik manusia Bugis-Makassar. Kitab tersebut beberapa bab diantaranya pada dasarnya berbicara tentang manusia pertama yang mendiami bumi. Diantara cerita tersebut diketahuilah bahwa setelah manusia pertama diturunkan ke dunia tengah (bumi) yakni Batara Guru (dari dunia atas) dan We Nyili’ Timo (dari dunia bawah), diturunkanlah seorang bissu (waria sakti) yang kemudian menemani manusia2 tadi (yang memiliki peran mengkomunikasikan dunia tengah-dunia atas dan dunia tengah-dunia bawah) dalam perjalanan kehidupannya didunia. Penulis asumsikan bahwa bissu disini mewakili gender ketiga (alternatif) sebagaimana batara guru adalah seorang laki-laki dan we nyili’ timo adalah seorang perempuan. Sehingga akhirnya dapatlah disimpulkan sebagaimana kisah tersebut, bahwasanya kebudayaan Makassar tidak hanya mengenal 2 (dua) gender saja yaitu laki-laki dan perempuan, akan tetapi kita mengenal gender yang lain (waria) yang telah ada sejak dimulainya cerita kehidupan di tanah Bugis-Makassar.

Dalam konteks sekarang dimana teknologi dan informasi yang super canggih-tak terbatas, muncul berbagai kontradiksi yang dialami manusia-manusia yang mengaku modern. Kontradiksi tersebut antara lain adalah bahwa meskipun informasi menjadi tak terbatas, akan tetapi kecenderungannya orang2 malah terkungkung pada sebuah pengetahuan dari informasi yang sangat sempit. Dimana mereka kemudian hanya menyerap informasi dari apa yang disuguhkan oleh media elektronik saja, semisal televisi. Fenomena ini terjadi lebih banyak pada kelompok masyarakat awam-hedonia dengan tingkat pendidikan dibawah standar yakni tamatan SD atau hanya sampai sekolah menengah pertama. Namun hal ini tidak menafikan bahwa kelompok masyarakat yang mengenyam pendidikan lebih baik (yakni anak2 kampus; kuliah) juga turut mengalaminya. Disinilah letak permasalahannya.

Baudrillard lebih senang menyebutnya dengan istilah simulacra. Konsep simulacra sepertinya tepat untuk menjelaskan sebuah dunia yang mengalami proses penyempitan realitas serta fenomena ketika dunia didiami oleh realitas2 yang semu, atau realitas menjadi ilusi. Lalu pada akhirnya menjerumuskan manusia pada hiperrealitas. Simulacra yakni sebuah ruang yang mensimulasikan realitas2 tertentu didalamnya dan membuatnya seolah-olah ada (riil). Katakanlah, orang2 hanya tahu realitas yang ditontonnya di dalam televisi atau yang pernah ditayangkan oleh televisi dan cenderung menutup mata (bisa berarti tidak mau tau dan tidak tau sama sekali) pada realitas diluar televisi. Misalnya mereka lebih mengenal realitas katy perry, lady gaga atau justin biebr daripada (seorang) waria yang ternyata merupakan tetangganya sendiri.

Kalupun misalnya televisi menayangkan realitas waria, itupun dengan cara yang media inginkan, yaitu penayangan yang berorientasi pada keuntungan dan naiknya rating program televisi. Adalah sebuah ideologi pasar sedang dijalankan. Sehingga yang terjadi adalah waria kemudian direproduksi dan direkonstruksi menjadi produk pasar yang menghibur hasrat manusia2 yang candu televisi. Sebutlah tayangan2 yang berbau entertain dan sedang diminati banyak penonton yakni “be a man”, srimulat, OVJ, extravagansa merupakan beberapa tayangan yang kemudian menciptakan stigmatisasi waria adalah “barang lucu-lucuan” saja.

Konstruksi lain yang dilakukan media adalah dengan menayangkan sebuah tayangan yang menyoal waria dan “perselingkuhannya” dengan dunia malam. Ditampilkanlah beberapa program televisi mingguan bertema “kehidupan malam” yang sangat tidak berpihak terhadap kaum waria. Diilustrasikan secara dramatis beberapa waria2 yang sedang menjajakan tubuhnya di pinggir2 jalan ibukota. Seolah-olah bahwa waria hanya bekerja pada waktu malam dan “tempat kerja” mereka hanya jalanan saja. Tak hanya itu, kadang2 ditayangkan sebuah berita tentang penggrebekan waria yang sedang mangkal dibeberapa ruas jalan2 tertentu ibukota. Alih2 mengganggu ketertiban kota, pemerintah kemudian melakukan operasi secara sporadis yang tidak jarang dengan melalui jalan kekerasan (baik fisik maupun simbolik). Operasi ini dinamakan operasi penertiban kota dan sebagaimana kita tahu secara common sense bahwa penertiban, pendisiplinan dan semacamnya selalu identik dengan kekerasan. Akan tetapi, meskipun dalam situasi ini waria dirugikan secara materil dan immateril, tetap saja kesalahan masih diarahkan kepada kaum waria. Akumulasi dari itu semua, waria identik dengan hal2 negatif dengan citra; kaum yang tak bermoral.

Padahal jika kita berusaha untuk mengenali dan memahami kaum waria, kita akan menemukan sebuah realitas yang sangat bertolak belakang dengan pengetahuan yang selama ini kita dapatkan pada tayangan2 televisi tadi. Realitas yang penulis maksud adalah realitas kaum waria yang hidup dari hasil kerja mereka di salon-salon ternama, hotel berkelas, dan kafe-kafe yang memiliki setoran langitan hanya dalam waktu sepekan saja. Belum lagi usaha-usaha lain yang memang memiliki prospek keuntungan besar serta berlabel prestisius, misalnya industri bahan makanan dan pakaian. Karena harus difahami bahwa waria merupakan manusia, dan selayaknya manusia, mereka seperti halnya pula laki-laki dan perempuan yang selain punya profesi negatif (PSK, Gigolo, semong, dsb) juga memiliki profesi terhormat dan seharusnya menempatkan mereka pada posisi terhormat pula. Bukan kemudian men-generalisasi bahwa “semua waria” adalah PSK! Oleh karena itu mereka harus dijauhi dan dimusuhi. Bukan pula kemudian menertawai waria ketika suatu saat kita bertemu dengan mereka di kesempatan tertentu. Karena waria tidak semuanya merupakan pelawak dan senang mengumbar lelucon pada khalayak. Mereka bukan badut yang sering dipertontonkan oleh Tessy Srimulat di televisi ketika sedang melakoni peran bencongnya. Para aktor tersebut sedang mengambil keuntungan dari kaum waria dan secara tidak sadar telah mengeksploitasi mereka yang berujung pada kerugian sosial kelompok waria.

Akhirnya, penulis ingin menyampaikan bahwa sudah selayaknyalah kita semua membuka mata dan pikiran bahwa dunia ini teramat sangat luas. Ada banyak sekali pengetahuan dan realitas diluar sana yang belum terpahami secara benar maupun secara baik oleh kita. Dengan bersikap dewasa dan berjiwa besar, kita mampu menangkap realitas yang mahaluas ini tanpa mendistorsinya menjadi sesuatu yang tidak lagi sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Terkadang pemahaman kita dapat menzalimi kelompok lain tanpa kita sadari betul bahwa kita sedang menzaliminya. Jadi, mari berpihak kepada kaum waria untuk membayar “ganti rugi” atas apa yang telah kita lakukan terhadap mereka selama ini. Karena tidak ada kata; terlambat.
Wassalam.
*Penulis adalah mahasiswa antropologi fisip uh angkatan 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mahmed Pujangga

Mata Pena Nalar selalu berkisah tentang kita, kehidupan kita, dan hanya kita...