Jumat, April 30, 2010

Waria dan Posisi Dilematisnya di Masyarakat

A. Latar Belakang
Sepanjang sejarah berbagai masyarakat di Kepulauan Nusantara, konstruksi sosial gender senantiasa beraneka ragam, tidak melulu lelaki dan perempuan saja. Individu yang terlahir sebagai lelaki biologis tidak semuanya tunduk pada konstruksi gender lelaki secara sosial-budaya. Mereka memilih atau mengkonstruksi sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan masyarakat pun dengan berbagai derajat penerimaan mengenali mereka sebagai banci (Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe-kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa) dan istilah-istilah lainnya yang belum semuanya dikenali bahkan oleh para peneliti gender dan seksualitas pun, namun memang ada dan dikenali oleh masyarakat setempat. Belum lagi adanya orang-orang yang interseks, yang dalam derajat tertentu memiliki (sebagian) ciri-ciri kelamin biologis lelaki dan/atau perempuan dalam berbagai kombinasi, yang acapkali disebut juga dengan istilah-istilah tadi (Oetomo, 2006:2).
Seperti halnya di dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan (secara umum) dan Makassar (secara khusus), ada orang-orang yang berkonstruksi gender yang tidak sesuai dengan kerangka hegemonik yang ditentukan oleh negara, agama, budaya, bahkan juga ilmu pengetahuan, yang hanya mengakui dua gender, yakni laki-laki dan perempuan. Konstruksi gender yang lain tersebut dapat kita kenali sebagai tomboy dan waria misalnya. Belum lagi identitas seksual lain yang tidak sempat kita kenali dan pada kenyataannya mereka ada serta berusaha bertahan hingga sampai sekarang ini.
Pendek kata, dapatlah dikatakan bahwa konstruksi gender dan seksualitas di masyarakat-masyarakat Nusantara maupun masyarakat Indonesia masakini adalah teramat kompleks dan beraneka ragam. Kaum ilmuwan, aktivis sosial, maupun anggota masyarakat sendiri, seringkali masih tidak tahu atau sengaja membisukan (karena berbagai alasan: moralitas, rasa risih, kemalasan berpikir) kenyataan yang rumit dan asyik ini (Oetomo, 2006:4-5). Mereka yang berpretensi menekuni bidang kajian gender pun cenderung hanya mewacanakan isyu-isyu perempuan dengan hampir secara kategoris melupakan kaum-kaum lain seperti waria dan gay misalnya sehingga pada akhirnya kajian gender di Indonesia menurut penulis hanyalah merupakan istilah lain untuk merujuk pada “kajian wanita” saja. Padahal kita tahu kajian gender tidak demikian dan teramat sangat luas cakupannya.
Salah satu gender yang cenderung diabaikan dalam masyarakat kita adalah kaum waria. Keberadaan mereka di tengah masyarakat kita kini bukan merupakan hal yang asing lagi. Meski tidak termasuk ke dalam salah satu identitas gender normatif, yakni laki-laki dan perempuan, namun hampir setiap orang pasti mengenal waria. Walaupun dalam pengertian yang sederhana, waria diketahui sebagai individu yang memiliki jenis kelamin laki-laki tetapi berdandan dan berperilaku seperti layaknya seorang perempuan (Atmojo, 1987:2-4). Lebih lanjut Atmojo berpandangan bahwa kehadiran waria sebagai bagian dari kehidupan sosial kita rasanya tak mungkin untuk dihindari. Meskipun demikian, kebanyakan dari anggota masyarakat belum mengetahui secara pasti apa itu waria. Kebanyakan dari kita hanya mengetahui dan dengan sepihak berpandangan bahwa menjadi waria adalah perilaku yang menyimpang dan menyalahi kodrat serta melanggar norma-norma agama.
Berperilaku menjadi waria selalu memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah, yakni penolakan secara sosial dan bahkan dianggap lelucon. Yang lebih disayangkan lagi, beban paling berat di dalam diri seorang waria adalah beban psikologis yaitu perjuangan mereka menghadapi gejolak kewariaannya terhadap kenyataan di lingkungan keluarganya. Perlakuan keras dan kejam oleh keluarga karena malu mempunyai anak seorang waria kerapkali mereka hadapi. Meskipun tidak semua waria mengalami hal seperti itu, tetapi kebanyakan keluarga tidak mau memahami keadaan mereka sebagai waria (Oetomo, 2003:290). Belum lagi bahwa kebanyakan anggota masyarakat mengasosiasikan waria dengan dunia pelacuran. Seperti kita tahu bahwa pelacuran dianggap sebagai sesuatu yang hina dan menjijikkan. Akhirnya, citra dunia pelacuran waria kemudian membuahkan pemikiran negatif pada masyarakat, yang selanjutnya berujung pada diskonfirmitas akan keberadaannya dalam beberapa faktor terutama penyempitan kesempatan kerja waria pada sektor formal (http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg14167.html).
Penelitian-penelitian tentang waria sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para peneliti dari berbagai kalangan, yakni kalangan jurnalis dan akademisi ilmu sosial (Lihat misalnya Atmojo, Koeswinarno, Soedijati dan Muthi’ah). Tetapi, penelitian tersebut dirasakan belum mampu meng-cover beberapa pertanyaan yang kemudian penulis merasa sangat penting untuk dijawab. Pertanyaan tersebut menyangkut bagaimana pengetahuan-pengetahuan dan strategi waria berkenaan dengan penerimaan masyarakat pada ruang-ruang sosial. Pertanyaan ini muncul karena adanya fakta bahwa sampai saat ini meskipun waria dianggap sebagai kelompok yang diabaikan dalam masyarakat bahkan cenderung ditolak dengan dasar dalil agama, namun mereka mampu bertahan hingga sampai sekarang dan penulis yakin mereka akan terus bertambah selama belum ditemukan cara (kalaupun ada) yang tepat untuk mencegahnya.
Selanjutnya, penulis melihat bahwa penelitian yang ada lebih banyak hanya mengeksplorasi latar belakang seseorang menjadi waria (Lihat Muthi’ah:123-128, 145-150, 163-169, 183-187) serta bagaimana tekanan sosial ketika seseorang hidup sebagai waria (Lihat Koeswinarno, 2004 : 149-152 dan Soedijati, 68-77 ). Adapun penelitian lain, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Atmojo (1987) sebenarnya sedikit banyak telah mengeksplorasi kehidupan waria dari berbagai sisi, namun penelitian tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan metodologi kualitatif. Peneliti lebih banyak menggunakan kuesioner dan dengan wawancara terbatas (karena peneliti adalah wartawan), sehingga data yang disajikan menempatkan hasil penelitian tersebut hanya sebagai pengantar untuk memahami kehidupan waria secara utuh jika ada peneliti lain yang tertarik untuk mengkaji kehidupan waria. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat dan mengkaji lebih dalam fenomena waria dengan menitikberatkan pada pengetahuan-pengetahuan dan strategi waria dalam menghadapi hambatan sosialnya. Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan atas apa yang dirasa belum cukup dari berbagai penelitian yang telah ada sebelumnya.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Nadia (2005:48), diketemukan bahwa sebenarnya penerimaan waria di masyarakat seringkali terbagi menjadi 2 (dua) konteks, yakni penerimaan secara individual maupun komunitas. Konteks individual bergantung pada perilaku sosial sehari-hari yang direpresentasikan oleh seorang waria, lepas dari komunitasnya. Sedangkan pada konteks yang kedua, waria dipandang dalam konstruksi yang cukup historis. Di sinilah kemudian, di satu sisi waria senantiasa dipandang dekat dengan pelacuran, seks bebas, penyakit kotor. Namun di sisi lain, waria diterima hidup bersama di lingkungan karena kepentingan ekonomis atau pertimbangan lainnya.
Posisi dilematis waria yang ada di masyarakat selama ini membuatnya menjadi sosok kelompok sub-budaya yang ekslusif. Namun demikan, tak dapat dipungkiri jika seorang waria walaupun posisinya tersudutkan serta terisolasi dari kehidupan sosial, mereka tetap menjadi bagian dari masyarakat. Seperti anggota masyarakat lain, untuk bertahan hidup mereka tetap dituntut melakukan interaksi dengan masyarakat. Selain untuk kepentingan hidup bermasyarakat, hal tersebut dilakukan juga untuk menunjukkan memenuhi kebutuhannya akan pengakuan atas eksistensi dirinya serta kesempatan bergaul secara normal dengan masyarakat. Oleh karena itu, menjadi sosok waria di kota Makassar merupakan sebuah proses negosiasi terhadap lingkungan yang tiada akhir.
Akhirnya, melalui uraian dan ilustrasi di atas, maka penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Strategi Negosiasi Waria Kota Makassar Dalam Menghadapi Hambatan Sosial Masyarakat”.

A. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan diatas, tulisan ini berupaya untuk menguraikan bagaimana pengetahuan dan strategi negosiasi waria kota Makassar dalam menghadapi hambatan sosialnya di tengah masyarakat sehingga mereka dapat diterima dalam ruang-ruang sosial.
Agar penelitian ini lebih terarah dan sistematis, maka penulis bermaksud membatasi penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah strategi negosiasi waria kota Makassar dalam menghadapi hambatan sosial masyarakat?
2. Bagaimana peran organisasi sosial kelompok waria kota Makassar dalam memperkenalkan citra positif kelompok waria terhadap masyarakat?

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Untuk menggambarkan bagaimana strategi waria dalam merepresentasikan dirinya pada ruang-ruang sosial sehingga mereka dapat diterima oleh masyarakat.
b. Untuk menggambarkan bagaimana cara mereka menegosiasikan identitas gender mereka dalam dunia sosial sehingga mereka dapat bertahan sampai sekarang.

C. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini adalah:
a. Dapat digunakan sebagai bahan kajian akademis dalam ilmu sosial terutama di bidang Antropologi Sosial.
b. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah (pemangku kebijakan) dan kalangan praktisi yang hendak mengeluarkan kebijakan/keputusan yang berkaitan langsung dengan isu seksualitas dan gender yang ada pada masyarakat Indonesia.

D. Kerangka Konseptual
Kehidupan manusia secara nyata selalu dapat tergambarkan dalam proses-proses sosial yang terjadi dan terdapat dalam masyarakat. Kita memahami bahwa setiap kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, masing-masing individu lahir dengan kebutuhan reguler untuk menjalin hubungan. Kebutuhan tersebut dituangkan dalam komunikasi antarindividu, kelompok maupun organisasi. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, waria sebagaimana merupakan individu maupun kelompok juga tak lepas dari interaksi sosial dengan lingkungan sosialnya.
Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2005:61) menyatakan bahwa interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Narwoko dan Suyanto (2007:57) menggambarkan bahwa proses sosial adalah setiap interaksi sosial yang berlangsung dalam satu jangka waktu sedemikian rupa, hingga menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan prilaku dalam kehidupan masyarakat. Dijelaskan pula bahwa interaksi sosial dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu interaksi sosial yang asosiatif dan interaksi sosial yang disosiatif. Interaksi sosial asosiatif adalah apabila proses itu mengidentifikasikaan adanya “gerak dan penyatuan” sedangkan proses disosiatif adalah proses yang ditandai adanya suatu pertentangan atau pertikaian yang tergantung sekali pada unsur-unsur budaya yang menyangkut struktur masyarakat dan sistem nilai-nilainya.
Waria dalam hal ini merupakan salah satu bagian masyarakat yang mengalami proses sosial disosiatif. Kehadirannya ditengah-tengah masyarakat belum sepenuhnya dapat diterima secara total. Dalam lingkungan tempat tinggal, mereka terisolir dari keluarga dan teman bermain karena kondisi dirinya sehingga mereka terpaksa mencari teman yang senasib. Dalam laporan penelitian Soedijati (1995:62), waria bergabung dengan sesama waria sebagai upaya untuk mereka dalam mencari jati diri. Alasan lain mereka berkeinginan berkumpul dengan sesama waria adalah untuk menemukan teman yang memiliki tujuan yang sama dan keinginan untuk bebas bertindak. Sebab dalam lingkungan tempat mereka tinggal, perilaku seorang waria sangat dibatasi pada beberapa hal tertentu terkait dengan identitas seksualnya. Oleh karena itu, berkumpul bersama teman-teman waria lainnya akan menciptakan rasa aman bagi waria itu sendiri.
Senada dengan hal tersebut, Nadia (2005:46) mengungkapkan bahwa waria akan mencari teman atau populasi yang keadaannya serupa dengan diri mereka agar mereka dapat diterima dan dihargai sebagai individu yang utuh, sebagaimana layaknya individu yang normal. Tetapi selanjutnya timbul masalah lain yaitu pemenuhan kehidupan sehari-hari, sementara tidak semua waria memiliki bakat dan keterampilan yang memadai untuk bertahan hidup, sehingga cara yang mereka lakukan adalah menjajakan diri dalam dunia “cebongan” atau pelacuran (Nadia, 2005: 48). Demikian pula yang dikatakan oleh Sara (2007:26) bahwa kehidupan waria menjadi lebih terbatas dalam peran dimasyarakat, yang pada akhirnya menyebabkan banyak waria yang mengantungkan hidupnya dengan menjadi pekerja seks (melakukan jasa seksual), ngamen, atau yang berkutat di bidang kecantikan (salon), namun hanya beberapa orang saja yang memang beruntung bisa bekerja di salon atau punya salon sendiri.
Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi waria. Karena di satu sisi, masyarakat tidak membuka kesempatan pendidikan, kehidupan yang layak dan pekerjaan bagi waria. Namun, di sisi lain seiring dengan menjamurnya prostitusi waria, pandangan masyarakat yang negatif sering ditujukan pada waria adalah bahwa waria identik dengan prostitusi. Meskipun fenomena waria menjadi penjaja seks dijalanan memang pada kenyataannya tak dapat dipungkiri. Namun seperti yang dipaparkan diatas, hal ini disebabkan karena belum sepenuhnya waria dapat diterima dalam kehidupan sosial. Masih sedikit sekali masyarakat yang mau dan bisa menerima keberadaan (seorang) waria. Kebanyakan masyarakat yang sudah bisa menerima waria karena sudah terbiasa melihat keseharian mereka, dimana ditempat itu ada komunitas warianya.
Masalah sosial yang kemudian akhirnya menjadi hambatan sosial tersebut dialami kaum waria meliputi hampir di seluruh aspek kehidupan sosialnya bahkan sampai pada hambatan kesempatan perlindungan hukum. Permasalahan kaum waria berkaitan dengan kondisi dirinya tersebut mengakibatkan renggangnya hubungan waria dengan lingkungan sosialnya. Soekanto (1986:394) mengemukakan bahwa masalah sosial merupakan suatu keadaan dimana cita-cita warga masyarakat tidak terpenuhi karena keadaan sosial dalam masyarakat. Keadaannya bisa bermacam-macam, salah satunya adalah kerenggangan sosial. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial; atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial. Adapun Soetarno (1989:58) memberikan pengertian masalah sosial sebagai suatu masalah yang timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan sosial yang tidak atau belum terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan sosial yang tidak atau belum terpenuhi tersebut hanya dapat dicapai dengan cara melakukan negosiasi yang tiada henti dengan penganut kebudayaan lain.
Sebagai bagian dari masyarakat, waria senantiasa berhadapan dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam masyarakat, ada banyak kebudayaan yang hidup dan berkembang. Dimana setiap kebudayaan memiliki sistem aturan dan normanya sendiri-sendiri. Seperti halnya yang diyakini oleh kaum relativisme budaya dalam Kaplan dan Manners (2002:6-7) yang menyatakan bahwa setiap budaya merupakan konfigurasi unik yang memiliki citarasa khas dan gaya serta kemampuan tersendiri. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa tiada dua budaya pun yang persis sama. Sistem aturan dan norma tersebut seringkali dianggap sebagai sebuah masalah sosial ketika terjadi kontak dan tidak berkesesuaian dengan harapan sebagian warga masyarakat yang juga memiliki sistem aturan dan normanya sendiri. Namun, lebih lanjut dikatakan pula bahwa beberapa bagian-bagian tertentu dalam suatu budaya niscaya saling terkait secara fungsional. Inilah yang kemudian membuat dua kebudayaan yang berbeda dapat bertemu dan saling berkompromi untuk menegosiasikan dirinya masing-masing.
Oleh karena itu, kerenggangan ikatan sosial dan atau perbedaan kepentingan dalam masyarakat, yang dalam hal ini waria dengan warga masyarakat lain sejatinya menempatkan mereka untuk saling berkompromi atau bernegosiasi. Negosiasi diperlukan dalam kehidupan manusia karena sifatnya yang begitu erat dengan filosofi kehidupan manusia, dimana setiap manusia memiliki sifat dasar untuk berusaha mempertahankan kepentingannya yang mana pada satu sisi, manusia lain juga memiliki kepentingan yang akan tetap dipertahankan, sehingga, terjadilah kontak kepentingan dan bias jadi berbuah benturan. Padahal, kedua pihak tersebut memiliki suatu tujuan yang sama, yaitu memenuhi kepentingan dan kebutuhannya.
Mills (1993:7) berpendapat bahwa dalam negosiasi, kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama dan kepentingan yang bertentangan. Oleh karena itu, dipercaya bahwa negosiasi hampir selalu akan dihadapi oleh setiap manusia, apalagi bagi sekelompok individu yang belum mendapatkan ruang yang cukup baik di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti halnya kelompok waria. Negosiasi sesungguhnya merupakan unsur yang penting dalam menentukan sebuah kelompok atau individu dapat diterima dalam ruang-ruang sosial. Negosiasi juga merupakan proses atau upaya menggunakan informasi dan kekuatan ke dalam suatu jaringan yang penuh dengan tekanan (Prasetyono, 2007:38). Pengetahuan tersebut diupayakan akan menciptakan suatu solusi yang membawa pada terbentuknya masyarakat yang harmonis. Dapat dikatakan bahwa dalam kenyataannya negosiasi sangat diperlukan untuk meretas segala ketegangan sosial yang ada.
Menurut Koeswinarno (2004:155) seorang waria diterima atau ditolak di dalam masyarakat akan sangat ditentukan dari bagaimana mereka membangun negosiasi dengan masyarakat untuk menjadi bagian dari lingkungan sosial itu sendiri. Sehingga keputusan masyarakat untuk menolak atau menerima kehadiran waria, pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan seorang waria, baik secara individual maupun kolektif dalam merepresentasikan perilakunya sehari-hari. Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa, segala hal hanya akan sangat bergantung pada pengetahuan dan strategi yang digunakan oleh waria dalam melakukan negosiasi. Oleh karena itulah penelitian ini akan berupaya untuk menemukan dan mencoba menggali bagaimana kemampuan negosiasi tersebut yang dimiliki oleh kaum waria yang ada di Makassar.
Kartono (1978:265), mengatakan bahwa istilah waria berasal dari kata “Wanita-Pria”, disamping itu mendapat sebutan lain seperti Wadam (Wanita-Adam). Kemudian Rowe (2007:9) menambahkan lebih jauh bahwa dalam “body politic”, pada umumnya mereka sering disebut dengan nama-nama yang remeh yang penuh dengan kesan-kesan negatif, contohnya “banci” dan “bencong”. Vernakular yang digunakan oleh waria untuk mengartikulasikan identitas mereka kebannyakan merupakan istilah-istilah yang berdasarkan kosakata dan teori-teori barat: yaitu gender, seksualitas, orientasi seksual dan lain-lain. Menurutnya, hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosio-seksual yang konservatif, dimana kata seksualitas dan hubungan seksual menjadi subyek-subyek linguistik yang tabu karena di dalam kebudayaan Indonesia, identitas seseorang adalah sesuatu yang tidak dipertanyakan atau dipahami sebagai konsep yang harus diartikan dan dimaknai secara sadar.
Dari sudut pandang psikologi ilmiah, waria 'condong' digolongkan pada gangguan identitas jenis (gender identity disorders). Gangguan ini ditandai dengan adanya perasaan tidak senang terhadap jenis kelamin. Dengan begitu, ia berperilaku seperti lawan jenisnya. Yang masuk dalam golongan ini antara lain adalah transeksualisme, gangguan identitas jenis masa anak-anak (pratran-seksualisme) dan gangguan identitas jenis tidak khas (Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa. Tim Direktorat kesehatan Jiwa, edisi II, cetakan pertama, 1985 halaman 223). Perasaan tidak suka pada jenis kelamin ini bukan karena alat kelaminnya terlalu kecil atau tidak aktif, sehingga si empunya tidak mendapat kepuasan, tetapi karena ia merasa alat kelaminnya tidak pada tempatnya. Dan perasaan tersebut terus selalu mengganggu, sehingga ada keinginan untuk menghilangkan ciri-ciri kelaki-lakiannya (kalau ia merasa perempuan), atau ciri kewanitaannya (kalau ia merasa laki-laki) (Atmojo, 1987:33). Di kalangan awam, tidak sedikit yang kemudian memahami atau mempertautkan waria dengan homoseks, seakan-akan waria identik dengan gay. Padahal, waria dan gay merupakan dua fenomena yang terpisah, betapapun dalam hal-hal tertentu keduanya masih dapat digolongkan sebagai penyimpangan seksual.
Kelainan seksual tersebut antara lain adalah parafilia. Kelainan ini ditandai dengan adanya ketidaklaziman pada obyek serta situasi seksualnya. Dalam taraf tertentu, penderita akan terhambat kemampuannya untuk melakukan hubungan seksual secara timbal balik. Penderita jenis ini juga memerlukan khayalan atau perbuatan yang tidak lazim untuk bisa bergairah. Umumnya, ia lebih menyukai pemakaian benda untuk merangsang dirinya sendiri. Dan tidak jarang melakukan hubungan seks dengan pasangan yang justru tidak menghendakinya. Adapun yang termasuk ke dalam golongan jenis ini antara lain sexual sadism, sexual masochisme, zoophylia, voyeurisme, fetishisme, pedophylia, exhibitionisme, dan transvestisme (Atmojo, 1987:35).
Salah satu kelainan di atas yaitu transvestisme sering disebut-sebut orang banyak menjelaskan soal waria. Karena orang yang menderita kelainan ini mendapatkan kegairahan dengan cara memakai pakaian lawan jenisnya. Namun, jika dilihat dari penggolongannya saja, jelas terdapat perbedaan antara transeksualisme dan transvestisme. Pada transeksualisme, identitas jenisnya yang terganggu, sedangkan transvestisme termasuk parafilia, obyek dan situasinya yang tidak normal. Penderita transeksual berpakaian wanita (jika laki-laki) atau berpakaian pria (jika dia wanita) karena merasa ada ketidak sesuaian antara fisik dan jiwanya. Tetapi pada transvestisme tidak begitu persoalannya. Penderita ini berpakaian lawan jenisnya justru untuk mendapatkan gairah seks. Dengan begitu, bisa saja penderita ini hanya sesekali memakai pakaian lawan jenisnya. Jelas sekali bahwa penderita transeksual ingin sekali menghilangkan ciri-ciri kelaki-lakiannya ataupun sebaliknya. Sedangkan pada transvestisme tidak perlu begitu. Misalnya, kalau dia laki-laki, dia tetap suka pada ciri kelaki-lakiannya, meskipun dia memakai rok. Ia tetap senang bisa bersenggama dengan wanita walau ada juga yang senang dengan sesama jenis. Dan meskipun memakai rok, mungkin saja ia tetap memasang kumisnya yang tebal. (Atmojo, 1987:36-37).
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua waria ingin atau telah menghilangkan ciri-ciri fisik kelaki-lakiannya. Seperti yang dikatakan oleh Sara (2007:25-26) bahwa kebanyakan dari teman-teman waria, masih banyak yang mengatakan bahwa mereka sudah cukup nyaman dengan kondisi fisiknya (masih punya alat reproduksi laki-laki) walaupun dalam keseharian mereka berpenampilan seperti seorang perempuan. Hal ini berbeda dengan seorang transeksualisme male to female/female to male) dimana ada ketidaknyamanan dan ketidakpuasan dengan biologisnya, gender maupun seksualitasnya. Sehingga ada beberapa atau (bahkan) kalau boleh dikatakan sedikit dari sekian waria yang melakukan operasi kelamin, yang pada akhirnya akan lebih senang dan puas jika disebut perempuan, seperti yang sudah dilakukan Dorce misalnya. Namun kemungkinan hal itu lebih banyak dikarenakan atas pertimbangan ekonomi. Operasi tersebut memang tidak murah, sedangkan penghasilan mereka rata-rata rendah.
Konsep lain yang dapat menjelaskan waria adalah konsep transgender. Didalam definisi sosiologi disebutkan bahwa waria adalah suatu transgender, dimana dari sikap atau perilaku maskulin berubah/merubah diri ke feminin dalam menjalani kehidupan kesehariannya, tanpa harus melakukan perubahan-perubahan yang mendasar pada kondisi fisiknya, termasuk melakukan operasi pada alat kelaminnya agar bisa menyerupai seorang perempuan (Sara, 2007:25). Dari konsep tersebut, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa kenyataannya ternyata tidak semua waria adalah transeksual tetapi semua waria adalah transgender. Ada waria yang transeksual dan waria yang a-transeksual.
Sebagai tambahan, indikator lain untuk dapat mengidentifikasi kaum waria adalah pergantian nama-nama. Kalau secara fisik laki-laki, umumnya mereka mengganti namanya dengan nama perempuan. Jelas ini adalah usaha penyesuaian dengan kondisi yang dirasakan. Dan sepengetahuan penulis, hampir semua waria telah melakukan hal tersebut. Mereka telah mengubah nama laki-lakinya menjadi nama perempuan sekalipun hal tersebut belum secara formal atau legal (terdaftar dalam dokumen/akta) (Atmojo 1987:40).
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa penelitian ini akan berupaya memahami dan mengkaji cara berpikir waria berkenaan dengan berbagai usaha dan strategi negosiasi yang mereka lakukan agar hambatan sosial yang hadir ditengah masyarakat dapat mereka lalui dan hadapi sehingga mereka dapat menjalani kehidupan sampai sekarang tanpa mengganggu eksistensi mereka secara substansial. Meskipun demikian, penelitian ini juga mencoba untuk mengkaji bagaimana kemampuan bertahan kelompok waria ditengah berbagai masalah dan hambatan sosial masyarakat.
Selain itu, peneliti juga bermaksud menggali beberapa informasi kepada masyarakat yang dalam hal ini juga merupakan salah satu sumber informasi berkenaan persepsi mereka terhadap kondisi gender waria. Penggalian informasi tersebut atas kepentingan analisis perbandingan persepsi, yakni antara waria terhadap identitas gendernya dan persepsi masyarakat terhadap kondisi gender waria. Dengan demikian, data yang didapatkan dapat menjadi suatu wacana yang komprehensif menyangkut anggapan atau kepercayaan masyarakat bahwa menjadi waria adalah sesuatu yang haram atau tidak, misalnya. Paling tidak, telah diasumsikan bahwa ada beberapa golongan dalam suatu masyarakat yakni ada golongan orang yang bisa menerima waria secara total, menerima waria secara setengah-setengah dan tidak menerima waria sama sekali. Perbandingan ini pula dapat membantu memberikan sedikit banyak penjelasan tentang hambatan sosial yang hadir di tengah-tengah masyarakat.

E. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif-deskriptif, Bungin (2008;68) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat studi kasus, yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian yang berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.
Dalam format penelitian kualitatif ini, peneliti akan mengkaji bagaimana pengetahuan dan kemampuan waria berkenaan dengan strategi negosiasi menyangkut penerimaan masyarakat terhadap identitas gender mereka. Oleh karena itu, menurut Patton (Ahmadi, 2005;3) bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena yang sedang terjadi secara natural (alami) dalam keadaan yang sedang terjadi secara alami. Dengan menggunakan metode kualitatif yaitu berusaha untuk menghasilkan gambaran atau lukisan secara nyata, sistematis dan akurat sesuai dengan data dilapangan.
Pengumpulan data pada penelitian ini tidak bersifat kaku, akan tetapi senantiasa disesuaikan dengan keadaan atau fenomena di lapangan. Dengan demikian hubungan antara peneliti dengan apa yang diteliti tidak dapat dipisahkan, validitas data sangat ditentukan oleh penelitinya, oleh karena itu peneliti harus cermat, tanggap dan mampu memberi makna fenomena yang terjadi dilapangan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode kualitatif bersifat alamiah, induktif dan dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami apa yang terletak di balik fenomena yang muncul dilapangan yang sulit untuk diungkap dengan metode kuantitatif.
Berdasarkan karakteristik tersebut, maka peneliti memilih jenis penelitian kualitatif dengan alasan;
1. Melalui penelitian kualitatif realitas yang terjadi dilapangan dapat terungkap secara mendalam dan mendetail.
2. Penelitian kualitatif dapat menemukan makna dari suatu fenomena yang terjadi dilapangan, karena sifatnya naturalis induktif dan diskriptif.
F. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Makassar yakni di tempat-tempat yang di identifikasi merupakan tempat kaum waria menetap dan bermukim, berkumpul atau membentuk organisasi.

G. Informan Penelitian
Penentuan informan dilakukan secara sengaja yaitu waria-waria yang masih bermukim di daerah Kota Makassar, serta warga masyarakat dilingkungan tempat waria tinggal yang mampu memberikan informasi mengenai masalah yang diteliti dengan asumsi bahwa informan tersebut memiliki pengetahuan tentang fenomena yang hendak didalami.

H. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan sesuai dengan fokus penelitiannya. Teknik pengumpulan data harus disesuaikan dengan metode penelitian dan fokus penelitian, sehingga mempermudah peneliti untuk memperoleh data yang valid. Menurut Bungin (2008;139) teknik pengumpulan data yang tepat untuk penelitian kualitatif antara lain adalah teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi partisipasi (participant observer). Khususnya pada wawancara mendalam, teknik ini memang merupakan teknik pengumpulan data yang khas bagi peneliti kualitatif. hal ini sejalan dengan Paton (Ahmadi; 2005;57) bahwa cara utama yang dilakukan oleh para ahli metodologi kualitatif untuk memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan seseorang adalah wawancara mendalam dan intensif.
Berdasarkan tujuan penelitian, maka data yang dibutuhkan bersifat kualitaif. Untuk itu maka dalam penelitian ini akan digunakan teknik sebagai berikut :
a) Observasi
Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan terhadap fenomena tertentu sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Pengamatan yang dilakukan harus secermat mungkin sehingga dapat menghasilkan data yang valid, yang berarti bahwa hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran penelitian.
Iskandar (2009:121) mengemukakan bahwa kegiatan observasi meliputi melakukan pengamatan, pencatatan secara sistematik kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang sedang dilakukan. Pengamatan dimaksudkan untuk menghimpun berbagai fenomena yang berhubungan dengan aktifitas negosiasi waria seperti kegiatan-kegiatan sosial kelompok waria dan hal-hal lain yang merupakan perilaku negosiasi dalam memperjuangkan eksistensi dan citra positif terhadap masyarakat dimana mereka tinggal. Dalam pengamatan ini peneliti akan menggunakan catatan-catatan dan kamera sebagai alat dokumentasi observasi.
Pengumpulan data dilakukan langsung oleh peneliti dengan pertimbangan; (1) peneliti merupakan alat yang peka dan dapat bereaksi terhadap situasi dari lingkungan yang diperkirakan bermakna bagi peneliti, dan (2) peneliti sebagai alat yang dapat langsung menyesuaikan diri terhadap segala aspek yang diteliti dan dapat segera menganalisis data yang diperoleh.
b) Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Dalam penelitian kualitatif wawancara merupakan alat yang sangat dominan untuk mengumpulkan data, karena dengan wawancara, peneliti melakukan komunikasi langsung secara mendalam dengan informan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh keterangan, pendapat secara lisan sekaligus dapat menarik makna dari keterangan yang dikemukakan informan.

I. Teknik Analisis Data
Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dari pengumpulan data sampai kepada penarikan kesimpulan penelitian. Oleh karena itu peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan setiap hari selama penelitian akan dibuatkan laporan lapangan, untuk mengungkapkan data apa yang masih perlu dicari, pertanyaan apa yang belum dijawab, metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan kesalahan apa yang perlu diperbaiki, serta data yang mana yang tidak diperlukan.
a) Reduksi Data
Data yang diperoleh dilapangan langsung diketik dengan rapi, terinci secara sistematis setiap selesai mengumpulkan data. Laporan lapangan direduksi, yaitu dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan masalah penelitian, selanjutnya diberi tema dan kode pada aspek tertentu.
b) Pengambilan Kesimpulan
Sejak dimulainya penelitian, peneliti berusaha mencari makna dari data yang diperolehnya, sesuai dengan tujuan penelitian kualitatif yang dikatakan oleh Bungin (2005; 68) yakni untuk mencari ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, dan hal-hal yang sering muncul. Maka ditarik kesimpulan, kemudian dilakukan verifikasi secara terus-menerus setiap kali memperoleh data baru, hingga kesimpulan yang diambil menjadi semakin jelas.

J. Pengabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, pengabsahan data merupakan salah satu faktor yang sangat penting, karena tanpa pengabsahan data yang diperoleh dari lapangan maka akan sulit seorang peneliti untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya. Untuk melihat derajat kebenaran dari hasil penelitian ini, maka dilakukan pemeriksaan data, hal ini didasarkan pada pandangan Moleong (1990;179) yang mengisyaratkan bahwa “untuk menetapkan keabsahan data diperlukan pemeriksaan data”. Pengabsahan data dalam penelitian ini, maka akan dilakukan dengan melalui cara; (1) mendiskusikan dengan teman-teman mahasiswa S1 khususnya mahasiswa antropologi baik secara formal maupun nonformal atau mendiskusikan dengan para dosen antropologi fisip unhas, (2) dilakukan triangulasi dengan melakukan cross check dengan sumber data yakni membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, (3) dilakukan pengamatan secara tekun, (4) dilakukan pengecekan terhadap temuan dilapangan. Selain itu mengecek apakah hasil penelitian ini benar atau salah sesuai dengan metodologi yang digunakan, dan peneliti selalu mendiskusikan dengan dosen pembimbing.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Ruslam. 2005. Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif. Universitas Negeri Malang. Malang.
Atmojo, Kemala. 1987. Kami Bukan Lelaki. Cetakan Kedua. PT. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta Utara.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Gaung Persada Press. Jakarta.
Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Cetakan Kedua. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Kaplan, David & Robert Manners. 2002. Teori Budaya. Cetakan Ketiga. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Koeswinarno. 2005. Hidup Sebagai Waria. Kanisius. Yogyakarta.
Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial I. Penerbit Rajawali Pers. Jakarta.
Kompas. Com. 10 Mei 2007. Kaum Waria Tuntut Pekerjaan di Sektor Formal. Di akses pada tanggal 8 April 2010
Maleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rusda Karya.
Mills, Harry A. 1993. Negosiasi Seni Untuk Menang. Binarupa Aksara. Grogol, Jawa Barat.
Muthi’ah, Dewi. 2007. KONSEP DIRI DAN LATAR BELAKANG KEHIDUPAN WARIA (Studi Kasus terhadap Waria di Kota Semarang). Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Nadia, Z. 2005. Waria Laknat atau Kodrat. Galang Press. Yogyakarta.
Narwoko, J. Dwi & Bagong Suyanto.2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Prenada Media Group. Jakarta.
Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara Pada Yang Bisu. Cetakan Kedua. Pusaka Marwa Yogyakarta. Yogyakarta.
. 2006. Memperjuangkan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Identitas Gender Dan Seksualitas Di Indonesia. Disajikan sebagai naskah presentasi pada Semiloka Hak atas Kebebasan Pribadi bagi Kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Interseksual, Transgender dan Transeksual. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kuta, 15–16 Agustus 2006.
Prasetyono, Dwi Sunar. 2007. Seni Kreatif Lobi dan Negosiasi. Penerbit Think. Yogyakarta.
Rowe, Emily. 2007. Sekapur Sirih. Dalam Waria: Kami Memang Ada. PKBI DIY. Yogyakarta.
Sara, Yuni. 2007. Sudah Adakah Kesetaraan di Kelompok Waria?. Dalam Waria: Kami Memang Ada. PKBI DIY. Yogyakarta.
Soedijati, Elisabeth Koes. 1995. SOLIDARITAS DAN MASALAH SOSIAL KELOMPOK WARIA (tinjauan tentang sosiologis dunia sosial kaum waria di Kotamadya Bandung). Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada masyarakat STIE. Bandung.
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mahmed Pujangga

Mata Pena Nalar selalu berkisah tentang kita, kehidupan kita, dan hanya kita...